Pages

Rabu

Aku Ular yang Terus Memburumu

hello semua! kita jumpa lagi dalam blog kumpulan cerpen, kali ini aq posting sebuah cerpen klasik yang sangat menawan,
oke..kita lanjunt aja!

Aku Ular yang Terus Memburumu

Cerpen: Ganug Nugroho Adi

(1)
AKU tak juga mengerti ketika sore itu tiba-tiba saja ia menemuiku dan mengaku sebagai ibuku. O, perempuan dengan sepasang mata kelam, siapakah dirimu?

"Aku Kunti. Akulah perempuan yang melahirkanmu bertahun lalu. Rada bukan ibumu. Ia hanya istri kusir kereta yang menemukanmu di sungai itu."

Aku memandang tubuhnya yang ringkih. O, bahkan namanya pun selalu samar kuhafal. Kunti. Ya, aku ingat sekarang. Dari Baluwarti, lebih dari sepuluh tahun lalu, aku pernah melihatnya berjalan bersama anak-anaknya menembus hutan, menuju pengasingan setelah akhir permainan dadu yang menggetarkan itu. Bukankah ia ibu para Pandawa? Mengapa tiba-tiba ia menyebutku sebagai anaknya?

"Karena aku memang ibumu."

Aku merasakan tubuhku tergetar, melayang. Rada, perempuan yang selama ini kuanggap ibu, dulu memang pernah mengatakan, bertahun lalu ia hanya menemukanku mengapung di arus sungai itu. Tapi Rada tak pernah menemukan jejak siapa ibuku.

"Maafkan aku karena telah membuangmu ke sungai itu. Aku telah melahirkanmu dari telingaku sendiri."

Aku musuhmu, wahai perempuan berwajah sayu. Telah kusiapkan seribu anak panah untuk membunuh anak-anakmu dan siapa saja yang membela Pandawa.

"Kau tak mengenal darahmu sendiri. Kini aku ceritakan riwayatmu yang sebenarnya, agar kau tak terus-menerus menerima belas kasihan Duryudana. Kau mempunyai aliran darah sendiri. Penuhilah tugasmu sebagai ksatria, membela darah dan keluargamu sendiri."

Keluarga? Kenapa baru ia katakan sekarang. Kenapa semua ia kabarkan setelah kehinaan yang dahsyat itu? Sungguh, aku tak akan pernah bisa menerima segala kehinaan dari para Pandawa. Hanya Duryudana, ya, Duryudana, yang kemudian melakukan tindakan besar. Terpujilah si sulung Kurawa yang hari itu telah menyelamatkan hidupku dengan menghadiahi Awangga, sehingga aku bisa melawan Arjuna. Hm, betapa mahalnya permusuhan sehingga untuk sebuah pertarungan pun harus merelakan sebuah kerajaan. Dan setelah semua kehormatan ini kudapatkan, tiba-tiba perempuan ini memintaku untuk bersekutu.

O, Hyang Widhi penguasa jagad, di manakah mereka, ibu dan saudara-saudaraku yang mulia itu, saat aku melawan segala pedih-perih berkepanjangan? Mengapa, mengapa baru sekarang perempuan agung ini datang dan mengakui semua kebenaran saat Kurawa atau Pandawa, ksatria atau sudra, bagiku tak lagi ada bedanya?

Aku menatap perempuan dengan rambut tergelung itu.

Wahai perempuan agung, benar aku memang seorang ksatria. Tapi bukan karena aku anakmu. Semuanya aku peroleh setelah melewati semua kehinaan. Jika benar kau ibuku, mengapa sampai hati kau renggut kehidupanku pada masa lalu? Mengapa kau tak pernah mencintaiku sebagaimana ibu-ibu yang lain? Bahkan kesetiaanmu pun tak sebanding dengan Rada yang sudra. Sekarang, pada saat kau mencemaskan keselamatan anak-anakmu yang lain, kau datang mencariku.

Mungkin benar, aku anakmu. Mungkin benar darahku Pandawa. Tapi anak-anak Destarata yang menghidupkan jiwaku. Katakan, adakah yang lebih hina dari mengkhianati orang yang telah menyelamatkan hidup kita? Sungguh aku tak bisa memuntahkan garam yang telah aku telan.

Lupakan, lupakan bahwa aku anakmu. Lagi pula bagaimana bisa kau sebut aku anakmu sedangkan nama kecilku pun bahkan kau tak pernah tahu?

"Jika demikian, Karna, tak bisakah kau mengurungkan perang besar ini? Atau setidaknya, tak bisakah kau mundur dari pertempuran esok pagi?"

Tidak mungkin! Aku tak bisa memenuhi permintaanmu. Jangankan kau yang baru sekali ini kutemui, aku bahkan menantang Bisma dan Salya karena ragu dengan Bharatayuda.

Sesungguhnya, wahai perempuan agung, Bharatayuda bukan sekadar perang. Sebab bagi siapa saja yang mengangkat senjata di Kuru, inilah satu-satunya cara untuk membayar utang. Tak siapa pun bisa menghalau Bharatayuda. Perang ini memang harus terjadi. Tak soal siapa menang, siapa kalah. Ini bukan semata-mata kemenangan. Sebab bagaimana Pandawa bisa merebut kembali Astina tanpa perang besar ini? Dengan cara apa Drupadi membalas sakit hatinya kepada para Kurawa jika Bharatayuda batal dilangsungkan? Dan bukankah engkau sendiri pun menginginkan perang ini demi merebut kembali kehormatanmu sebagai seorang ratu?

Wahai, Dewi, hidup ini sesungguhnya hanya berupa perundingan demi perundingan. Kewajiban kita hanya menjalankan kesepakatan-kesepakatan yang pernah kita buat. Tak lebih. Di pertempuran esok pagi itulah kita akan membayar apa yang seharusnya kita bayar. Kita akan menerima apa yang seharusnya kita terima.

Tapi baiklah, barangkali aku bisa berjanji satu hal kepadamu. Ketahuilah, sesungguhnya aku hanya berurusan dengan Arjuna. Aku telah bersumpah untuk membunuhnya. Tapi percayalah, tak akan kulukai anak-anakmu yang lain. Tak perlu kau cemas. Sebab aku atau Arjuna yang mati, kau akan tetap mempunyai lima anak.

Perempuan itu menangis. Aku memalingkan wajah. Benarkah ia perempuan yang dulu membuangku ke sungai itu?

O, Bengawan Silugangga yang tenang dan dalam, berapa banyak kisah yang telah kausimpan? Wasu Dara, Wasu Druna, Wasu Soma, Wasu Apah, Wasu Anila, Wasu Nala, Wasu Saprahjangga, Wasu Wuragil, dan entah siapa lagi yang pernah mengapung di arusmu?
***
(2)
PERTEMPURAN hari ke-15 itu berhenti. Karna, senopati Kurawa, baru saja gugur. Ladang Kuru tiba-tiba hening. Seluruh Kurawa berduka. Para Pandawa khusuk menundukkan kepala. Bahkan Arjuna, ksatria yang baru saja menancapkan ribuan anak panah ke punggungnya, tak kuasa menyembunyikan kesedihan. Di dekatnya, Kresna dan empat Pandawa yang lain terdiam. Kunti, ibu para pandawa itu, tak kuasa menahan air matanya sambil terus meratapi tubuh tak bergerak di hadapannya. Tangisnya begitu menyayat. Betapa hebatnya kedukaan perempuan agung itu. Ia sedang meratapi bayi yang bertahun lalu pernah dibuangnya (?)

Mungkin hanya aku, Surtikanti, satu-satunya yang tak menangis, karena memang tak ada yang perlu ditangisi. Karna, suamiku, mati dengan hebat. Ia telah bertempur sebagai layakya seorang ksatria. Laki-laki gagah itu telah memilih jalan yang diyakininya benar.

wonten malih kinarya palupi

surya putra Narpati Ngawangga

lan Pandawa tur kadange

len yayah tunggil ibu

suwita mring Sang Kurupati

aneng nagari Ngastina

kinarya gul-agul

manggala golonganing prang

bratayuda ingadegken senapati

ngalaga ing kurawa 1)

Bagi Karna, hidup memang tak memberinya banyak pilihan. Lahir dengan darah ksatria, tapi tumbuh dalam kasta seorang kusir kereta. Nasib pada akhirnya lebih sering mengenalkannya dengan dendam dan sakit hati. Ditolak Durna menjadi murid, dicurigai sebagai mata-mata oleh Bergawa, lalu ditertawakan para Pandawa karena kastanya.

"Bukan panji ataupun sakit hati yang aku bela, tapi balas jasa yang tak terkira yang ingin kukembalikan," katanya suatu saat.

Karna. Laki-laki beranting emas itu kini telah mati. Jasadnya dibaringkan di balairung Astina, di keliling wewangian dari seribu macam kembang. Orang-orang menembangkan Megatruh, membaca mantra di antara tipisnya kepulan asap dupa. Pihak-pihak yang berseteru itu kini berkumpul, memberi penghormatan terakhir kepada senopati Kurawa.

telah ia tanggalkan baju besi dan anting emas itu

ia memandangku

o, dewi, jagalah suryajaya

katakan padanya aku sedang mengembara

Ada yang tiba-tiba memerih. Seperti derit pintu malam-malam, dan jerit serangga dari semak-semak gelap, mengendap-endap di jendela lalu menyelinap dalam kenangan tubuh yang gelisah 2)

Aku keluar dari kerumunan, memandang jasadnya dari kejauhan.
***
(3)
Malam setelah jasad Karna menjadi abu...

Hmm, kau ulang lagi muslihat itu. Dan betapa orang-orang telanjur mendewakanmu. Menyembahmu dari pagi hingga pagi lagi. Menjadikanmu berhala karena merasa seolah-olah kau benar-benar mampu memberikan apa saja yang mereka minta. O, betapa malangnya orang-orang itu, karena tak tahu siapa sisi lain dirimu.

Ya, ya, mustahil aku lupa akal licikmu itu.

"Aku ingin baju besi dan antingmu," begitu kau meminta kepada Karna dengan wajah menghiba.

Licik, karena telah kau samarkan dirimu dalam jubah pengemis. Persis seperti yang dilakukan Rahwana saat menculik Shinta bertahun lalu.

"Tuan, kaulah dermawan yang dikirim para dewa dari kayangan untuk menolongku..."

Tanpa prasangka, Karna mengambil pisau lalu memotong baju besi dan anting itu, lalu segera menyerahkan kepadamu.

O, teganya dirimu! Di balik perilaku santunmu, ternyata kau reguk begitu banyak ilmu angkara dari Rahwana. Tapi aku tak heran, sebab sesungguhnya kaulah biang dari segala kericuhan ini. Bukankah sengaja kau pilih posisi hina sebagai kusir kereta Arjuna dalam Bharatayuda agar bias mengendalikan keluguan Pandawa? Apakah bagimu, untuk sebuah kemenangan selalu berlaku segala yang tak halal?

Kresna, Kresna. Lihatlah, kau ungkit-ungkit riwayat pahit Kunti dengan menyodorkan Karna yang sebatang kara seolah-olah ia adalah bayi yang telah dibuang ke Silungganngga bertahun lalu. Dan celakanya, Kunti yang bodoh itu begitu saja memercayai dongengmu.

"Apa? Jadi ksatria itukah bayi yang aku hanyutkan di sungai dahulu?"

"Ya. Dialah dosa yang pernah kau sembunyikan..."

"Aku terpaksa," Kunthi bergumam. "Bayi itu lahir sebelum aku kawin."

"Dan sekarang ia telah dewasa. Ia tumbuh untuk menghancurkan anak-anakmu. Lakukanlah sesuatu."

"O, apa yang harus aku lakukan, wahai titisan Wisnu?"

Lalu kau minta perempuan itu menemui Karna yang konon anaknya. Kauajarkan perempuan tua itu meminta Karna bersumpah untuk hanya sekali saja melepaskan panah saktinya kearah Arjuna. Amboi, sebuah strategi yang hebat sekaligus licik bukan?

Dan semuanya menjadi nyata di ladang kuru. Panah sakti Karna hanya mengenai jamang Arjuna. Maka terbebaslah penengah Pandawa itu dari takdir kematian di tangan Karna.

Tapi kau tak berhenti di situ. Kau tak juga puas meski telah berhasil merampas baju besi dan anting-anting yang lahir bersama Karna, dan merasa berjasa karena baru saja menyelamatkan nyawa Arjuna.

O, dewa segala dewa, inilah tragedi paling memalukan dalam Bharatayuda. Lihatlah, kau masih saja memaksa Arjuna untuk melepaskan panah ke tubuh Karna yang sedang terjebak lumpur bersama kereta dan delapan kuda yang menghelanya. Hm, di manakah jiwa ksatriamu yang diagung-agungkan banyak orang itu? Kenapa tetap saja kau lakukan muslihat itu saat menyaksikan Karna bersusah-payah mengangkat roda keretanya dari lumpur yang membenamkannya?
"Cepat! Lepaskan anak panahmu!" kau perintahkan Arjuna yang duduk di sampingmu...

"Tapi..."

"Jangan membantah, Dananjaya! Lakukan perintahku! Tidakkah kau lihat musuh besarmu sedang tak berdaya?"

Dan gugurlah Karna. Lalu kau menepuk dada. Hm, kenapa kau tak pernah berani berhadap-hadapan dengan Karna secara laki-laki?

Lalu datanglah Kunti meratapi kematian anak sulungnya. Tangisnya pun seketika menghentikan pertempuran pada hari ke-15 itu.

"Telah kau bunuh saudaramu sendiri, anakku," ratapnya ke arah Arjuna. "O, jagad dewa, inikah karma itu?"

Aku tak habis pikir. Di tengah ratapan ibu Kunti, kau tetap saja berpura-pura bijak.

"Aku yang membunuhnya. Bukan Arjuna. Aku yang memaksanya melepaskan anak panah tepat pada saatnya. Aku yang menyelamatkan Arjuna dari panah sakti Karna. Sebab jika ia mati, ia tak akan bisa melepaskan anak panah yang sekarang ini menancap di jantung Karna."
Lima Pandawa terdiam. Tapi Kunti terus meratapi anak sulungnya. Lantas perempuan itu menoleh ke arah Kresna.
"Tidak. Bukan kau yang membunuhnya!" jeritnya. "Akulah yang telah membunuhnya, bahkan sejak ia masih bayi. Jiwanya telah mati sejak aku membuangnya ke Sulinggangga. Selama ini hanya jasadnya yang hidup. Akulah yang bersalah. Akulah yang berdosa. Para dewa sudah mengirimkan karmanya," Kunti meratap.
Lalu ia menegadahkan wajah ke langit, "Dan kau Surya, puaskah kau menyaksikan semua ini?"
Tiba-tiba Kresna tertawa. Semua menoleh ke arahnya.
"Kenapa kalian saling merasa bersalah? Inilah perang, tempat yang paling memungkinkan untuk mati. Lepaskan segala perasaan bersalah jika kalian masih menginginkan kemenangan."
"Meski kali ini yang mati di tanganku itu Karna, saudara sendiri?"
Kau tatap Arjuna dengan dua alis berkerut. Rahangmu mengeras. Kau seperti tak suka mendengar pertanyaan itu.
"Bukankah sejak semula kau pun tahu, Dananjaya, bahwa Kurawa pun saudaramu sendiri? Jika kemarin kau bisa legawa membunuh Bisma, kenapa sekarang harus cemas setelah menghabisi Karna?"
Lalu kau berbalik, Meninggalkan kerumunan tanpa menoleh lagi.
Hmm, ksatria titisan Wisnu. Ingatlah, sepanjang darahku masih mengalir di tubuhku, sepanjang napasku masih menyertai nadiku, maka sepanjang itulah aku, Putri Salya, akan memengejarmu. Aku adalah ular yang terus-menerus memburumu. Akan ku patuk jantungmu. Mungkin saat kau sedang tidur. Mungkin saat kau sedang menyetubuhi istri-istrimu.
Ya, akan kupatuk kamu..

Read More......

Minggu

AKU DATANG MEMENUHI PANGGILAN-MU

salam jumpa! pada posting di blog cerpen kali ini, aq pilihkan sebuah cerpen yg ditulis oleh Eddy D. Iskandar, selamat menikmati.

AKU DATANG MEMENUHI PANGGILAN-MU
Cerpen: Eddy D. Iskandar

LABBAIK Allahumma labbaik, labbaika la syarikalaka labbaik. Innal hamda wanni`mata laka wal mulka, la syarikalak...
Talbiyah itu terus berkumandang memenuhi ruangan. Aku mendengarnya begitu mencekam, mendebarkan, membuatku terpana. Ada sesuatu yang membuatku terguncang. Jutaan suara itu menggema. Entah dari mana. Padahal di dalam ruangan tak ada siapa-siapa, kecuali aku, sendiri.

Tiba-tiba seperti ada yang menggiringku untuk melangkah. Aku tak tahu pasti apakah aku berjalan di atas tanah, atau di udara. Yang kurasakan tubuhku begitu ringan, seakan melayang-layang. Lalu aku tiba di suatu tempat, entah di mana. Di hadapanku sudah berdiri seseorang berpakaian putih-putih, menyambutku dengan kedua lengannya yang merentang lebar-lebar.

Sesaat aku tertegun. Aku sangat mengenal wajah itu. Wajah tua renta, dengan tubuh bungkuk, yang biasa berdiri di pertigaan sebuah kompleks perumahan. Ia selalu menadahkan topi anyaman yang sudah kusam. Setiap aku lewat, kumasukkan uang seribu, kadangkala dua ribu atau lima ribu ke dalam topi itu. Dan ia selalu membalasnya dengan doa yang itu-itu juga. "Ooo, terima kasih, Den. Terima kasih. Semoga rezekinya banyak, jadi haji yang mabrur?."

Aku tak tahu pasti, apakah doa itu diucapkannya juga kepada yang lain, atau hanya khusus kepadaku saja. Yang pasti, aku tak pernah melihat ada orang lain, ketika ia berada di tempat itu. Atau aku tak pernah melihat ada orang lain yang memberi uang kepada dia.

Mengapa aku begitu terikat secara emosional kepada dia, aku juga tak tahu. Aku selalu merasa iba melihat wajah dan keadaan tubuhnya yang renta.

Kadangkala aku memergoki dia sedang makan di tepi jalan, di bawah rimbun pohon, sambil menyembunyikan wajahnya ke dalam topinya. Bahkan sekali waktu, aku pernah melihat dia sedang shalat dzuhur di tepi jalan, di atas sajadah yang bersih.

Sempat terpikir, ingin menghampiri dan bertanya lebih jauh tentang dia, tapi selalu urung dan urung lagi. Ah, untuk apa, bukankah ia sama saja seperti peminta-minta yang lainnya. Padahal, jauh dalam lubuk hatiku, ada sesuatu yang membuatku penasaran. Begitu banyak pengemis di jalanan, tapi aku merasakan ada sesuatu yang lain jika memerhatikannya.

Dan lelaki tua itu sekarang ada di hadapanku. Wajahnya seolah memancarkan cahaya. Begitu bersih. Berseri.

Ia menyuruhku mebersihkan tubuh, lalu memberiku kain putih, sama seperti yang dikenakannya.

Ia mengajakku salat tengah malam, salat tahajud.

Ia membacakan doa dalam bahasa Arab, tapi aku seperti mendengarkan artinya dalam bahasa Indonesia.

"Ya, Allah karuniakanlah haji yang mabrur, sai yang diterima, dosa yang diampuni, amal saleh yang diterima, dan usaha yang tidak akan mengalami rugi. Wahai Tuhan Yang Maha Mengetahui apa-apa yang terkandung dalam hati sanubari. Keluarkanlah aku dari kegelapan ke cahaya yang terang benderang. Ya Allah, aku mohon kepada-Mu segala hal yang mendatangkan rakhmat-Mu dan keteguhan ampunan-Mu, selamat dari segala dosa dan mendapat berbagai kebaikan, beruntung memperoleh surga, terhindar dari siksa neraka. Tuhanku, puaskanlah aku dengan anugerah yang telah Engkau berikan, berkatilah untukku atas semua yang Engkau anugerahkan kepadaku dan gantilah apa-apa yang gaib dari pandanganku dengan kebajikan dari-Mu. Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan hindarkanlah kami dari siksa neraka."

Usai berdoa, ia menangis sesenggukan. Lalu aku pun terbawa ke dalam keharuan yang tulus itu, keharuan yang ikhlas itu, keharuan yang mengalir begitu saja, dalam tangis yang menderas.

Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Pada saat kedua telapak tanganku terbuka, ia tak ada lagi di hadapanku. Aku berteriak memanggilnya. Tapi suaraku seakan menembus ruang hening.

Lalu aku terbangun. Duduk termangu di tepi ranjang. Melihat ke arah jam dinding. Pukul tiga dinihari.

"Tahajud…," aku mendengar bisikan itu, bisikan yang membuatku bergerak menuju ke kamar mandi untuk berwudu.

Ini adalah tahajudku yang pertama kali.

**
PUKUL tujuh pagi, baru saja aku mau berangkat ke kantor, seorang lelaki muda berpakaian rapi, datang kepadaku.

"Maaf, Pak. Saya disuruh pimpinan saya untuk menemui Bapak," kata lelaki itu.
"Ada urusan apa? Siapa pimpinan Bapak?" tanyaku terheran-heran.
"Saya dilarang menyebutkan namanya. Pokoknya, Bapak diminta menemuinya jam satu siang. Ini alamat kantornya."

Aku tertegun. Membaca kantor perusahaannya, ia seorang pengusaha sukses. Tapi siapa namanya? Apa urusannya denganku? Mengapa merahasiakan namanya? Dari mana pula ia mengenalku?

Aku masih termangu, ketika lelaki itu mengingatkan.

"Jangan lupa pukul satu siang. Pimpinan saya sangat sibuk, tapi ia sengaja meluangkan waktu untuk bertemu dengan Bapak."

Meskipun dalam keadaan bingung, aku menganggukkan kepala.

Pukul satu siang aku sudah tiba di kantornya. Aku disuruh menunggu di ruangan kerjanya yang luas dan sejuk. Begitu aku disuruh untuk masuk, ia seperti sengaja tak mau langsung bertatap muka. Aku menunggu selama lima menit.

Orang itu muncul dari arah lain. Tinggi tegap. Gagah. Tampan. Ia menghampiriku sambil tersenyum. Begitu berhadapan, aku terperangah.

"Masih ingat aku?" tanyanya.
"Alfarizi," gumamku.
"Ya, ya, aku Alfa. Syukurlah kau masih ingat aku."

Read More......

Sabtu

Aku & Majikan. Cerpen: Uki Bayu Sedjati

"Bibir mencibir, lidah tak bertulang, menjilat ludah sendiri, menarik ingus di hidung!"?..belasan katakata bernada ejekan itu melintas-lintas di benakku saat melamun ataupun saat tidur.
Seperti poster-poster bergambar bibir dan lebar lidah menjulur, menyeringai yang diacung-acungkan para pengunjuk rasa dan penggalan hujatan serak para orator di tengah massa.Apa aku sedang mimpi? Mmmh.... Mungkin secara tak sadar aku menyerap dan mengolahnya dari surat kabar,majalah, radio, televisi? Juga, secara langsung dari majikanku?
Memang aku sering diajak mengobrol segala macam, saat masak,bersihkan perabotan,menyiram kebun, mencuci mobil. Majikanku manusia bekerja, sih. O ya, perkenalkan namaku Yayah. Tetangga-tetangga di kampung, sejak kecil, memanggilku begitu. Padahal asli Cahaya. Kata Bapak, itu kakekku yang memberi nama, biar keluarga bisa terus berkilau semangatnya,katanya. Tapi panggilanku Yayah. Tak apa. Meski, awalnya, membuatku merasa disepelekan, mentang-mentang aku hanya pembantu rumah tangga,PRT.
Cahaya,ya,jelas kakek punya niat dan keinginan yang mulia ketika memberi nama. Ah, tak mengapalah? Yang penting, aku dilahirkan pasangan petani di desa, di wilayah pinggir Sibolangit, kota kecil pertengahan antara Medan dan Danau Toba. Aku keturunan "jadel", Jawa Deli. Kakek buyutku Jawa, nenek buyutku asli Deli. Konon, waktu zaman penjajahan, mereka kuli kontrak onderkata Bapak jambore,ramai sekali,sayang bangunan-bangunan bekas keramaian itu tak dirawat.
Jangan salahkan nasib. Itu betul. Sebab, sebagai PRT di rumah majikanku sekarang ini, enak, asyik punya. Aku boleh bertukar kabar dengan orangtuaku di kampung, sanak keluarga, bahkan sahabat pena. Sungguh, semua fasilitas: komputer, internet, tentu juga telepon, HP, faks, justru majikanku yang terusmenerus menyatakan bahkan melatih agar aku mampu menggunakan alat-alat itu. Dia dengan telaten mengajari, juga menyuruh kursus.Jangan pula heran aku diberi hak cuti haid, hak cuti tahunan, bonus gaji ke-13. Itulah majikanku, yang perempuan maupun yang lelaki.
"Aktualisasi diri dimiliki setiap manusia," kata majikanku kepada temannya, saat aku suguhkan teh dan penganan kecil di tengah percakapan,suatu sore,di teras rumah. "Betul," tanggap temannya itu. "Karena itu setiap manusia harus diberi peluang, dan harus pula diajak, dibangunkan agar memanfaatkan semaksimal mungkin semangat dan tenaga yang ada dalam diri,"fasih omongan yang keluar dari bibir mungilnya. Kadang jadi tak enak hati setiap kali majikanku mengajak duduk bersamasama satu meja makan.Tak enak rasanya, tak bisa makan secara bebas.Tapi jangan pakai alasan tak layak atau tak pantas. Wah, majikanku pasti menegur.
Dia pernah bilang, "Siapa bilang kau tak layak, siapa bilang kau tak pantas. Ukuran kepantasan dan kelayakan itu kita,manusia yang bikin. Makanya bisa berubah setiap tempat dan di setiap saat." Mau contoh? Ketika bersama-sama warga se-RW tamasya ke gunung, saat acara makan, boleh duduk di mana tempat. Ada yang duduk di atas tikar, di kertas karton,di rumput.Aku yang PRT dan majikanku yang tokoh masyarakat sama-sama duduk di atas batu. Malah, batu yang kududuki lebih tinggi dibanding batu majikanku.
Hanya,soal makan sama-sama kan tak perlu heboh. Masih banyak masalah masyarakat kita yang penting untuk diutamakan dan diupayakan penyelesaiannya. "Gitu aja kok repot," kalimat yang pernah kudengar di radio dan televisi, dari wajah dan bibir yang?yaa, itu ada benarnya. Memang sesekali mencuat pikiranku kepingin dipanggil nama lengkapku Cahaya atau Cahya, bukan lagi Yayah? tapi?sudahlah., karena kebiasaan orang sulit diubah. Proses transformasi dari tradisional menjadi modern memang evolutif, perubahan mesti bertahap, gradual, kecuali ada revolusi? ups, kata ini aku dapat dari mana?
Lihat di cermin bibirku tersenyum.Kata dan kalimat yang menurutku bagus-bagus begitu saja mondar-mandir di benakku kapan saja, semaunya.Aku sering menyampaikan hal itu kepada teman-teman sesama PRT. Itu pun, mereka?ah, masih untung mau mendengarkan, lebih sering mereka bengong mendengar celotehku. Ada juga yang tak menggubris, langsung melenggang pergi.Buat mereka, aku jadi seperti makhluk aneh.Kenapa? Mungkin, mereka pikir,PRT kerjaku sama dengan mereka: sapu dan pel rumah, cuci dan setrika baju, belanja dan masak. Itu saja.Tapi, kenapa?
"Kamu harus berjuang untuk memajukan pikiran-pikiranmu. Belajar terus. Kendala bisa diubah jadi tantangan dan peluang oleh orang kreatif," majikan perempuanku selalu memompa semangat. Dia memang andal. Kalau malam hari, rumah sepi, tak ada anak-anak?O ya, majikanku pasutri yang belum punya keturunan, mungkin karena dua-duanya sibuk, sih. Tampaknya seperti tak sempat bermesra- mesraan,macam cerita di televisi.Eh, aku kok jadi sok tahu. Jika majikan perempuanku belum pulang, aku hanya berdua dengan majikan lelaki, malam hari, nonton televisi di ruang tengah. Aku santai saja.
"Tulung pijatkan pundakku, pegalpegal rasanya." Atau, "Kamu kayanya pucat, sini aku pijetin kepalamu?" Itu cuma kalimat yang ada di cerita sinetron atau film. Bibir majikan lelaki tak bakal mengeluarkan omongan yang melecehkan seperti itu. Siapa pun memang tak percaya, termasuk teman-teman sesama PRT perempuan. Aku kadang mendengar mereka sedang ngegosipin majikan masing-masing, terutama pagi hari di dekat gerobak tukang sayur. "Ssst?Bapak pernah niup kupingku, nepok pantatku lho, hi hi hii...."
"Bibir bosku seksi. Kumis sama bulu dadanya lebat banget. Aku suka merinding sendiri...terus mimpi deh...." "Aku pernah diajak adiknya Ibu nonton film..gituan?ih..serem?" Bicara gosip seperti itu aku menolak ikut, pamali. Salah-salah bisa bibir sendiri yang dower. Mereka lebih suka gosip daripada bicara soal hak perempuan. Padahal mereka kaumku, perempuan. Makanya aku acap lebih memilih baca buku bahasa Inggris.
Siapkan teh manis, penganan kecil, buku "Living English Structure" dan kamusnya-yang dikasih majikanku waktu kami belanja di pasar buku loak-lantas cari tempat yang di sofa, di karpet atau tiduran di kamar tidur. Aku sudah setahun lebih kursus Inggris.Lumayan bisa,cuma keberanian bicara mesti ditambah. Majikan perempuan tahu itu. Beberapa kali aku diajak ikut ke rapat, diskusi, seminar?dan setiap kali ada orang asing aku disuruh ngobrol, walah, bibirku sampai gemetaran, tapi aku nekat saja, biarpun sesudah itu aku terbirit-birit ke toilet.
"Harus berani, coba terus, try...be practice..," dorongnya. Suatu kali aku sibuk dengan diriku sendiri.Tepatnya: klimpungan.Penyebabnya, ada undangan datang.Ya, undangan. Bukan atas nama majikanku.Bukan surat dari kampung, bukan. Yang satu undangan seminar, yang satu lagi undangan membentuk yayasan. Mana yang kupilih untuk kuhadiri karena keduanya sama hari, tanggal,dan jamnya? Tak bisa minta saran ke majikan, karena keduanya sedang di luar kota.
Akhirnya aku memilih menghadiri seminar. Di situ aku jadi peserta yang kayanya paling tak pantas duduk di antara peserta lain, yang tampak begitu cantik, pandai, bahkan ada yang dandanannya seperti artis di tv. Lipstick di bibir mereka warnanya ada pink, ada merah, ada cokelat? aku rasanya salah tempat.Tapi bagaimana lagi. Aku atur napas ?.kurr semangat. Ketika dibuka acara tanya-jawab,aku memberanikan diri mengajukan pertanyaan serta tanggapan. Dan astaga, apa yang kukemukakan malah menjadi perbincangan hangat.
Sungguh, topik seminar "Manajemen Rekruitment Karyawan Perusahaan Multinasional" jadi berubah arah. Lebih menyoroti peran dan kepercayaan pimpinan dalam mendelegasikan wewenang kepada bawahannya. Ulasanku diperbincangkan terus yaitu tentang meningkatkan kesejahteraan karyawan yang justru jadi langkah jitu meningkatkan citra perusahaan. Salah seorang pembicara, dia doktor dari universitas terkenal, mengutip ucapanku.
Dia membenarkan, katanya perusahaan yang menjadikan karyawan sebagai mitra kerja, tak bakal mengalami demo. Menambah gaji karyawan? walau hanya 10.000 perak?misalnya, jauh lebih menguntungkan dibandingkan jika terjadi mogok kerja.Komisaris, pimpinan, karyawan kan sama-sama manusia, maka bersaudara?. Begitu seminar usai, aku bahkan diwawancarai wartawan radio dan televisi di situ,ya di tempat seminar itu. Saat dikerubuti wartawan dan kamera itu, masya Allah, bibir-bibir mereka ada yang mencibir, ada yang monyong, yang hitam kena polusi rokok, ada yang main sikut, ada yang sodorkan taperecorder nyaris mengenai bibirku, ada wah, wah? aku seperti selebriti, aku nyaris tak bisa bernapas di tengah kerumunan. Dan masya Allah lagi, itu ada majikan perempuanku di antara para peserta.
Aku baru tahu dia hadir juga di seminar ini.Padahal,tadi pagi lewat SMS aku disuruh datang sendiri.Apakah?? Eh, dia mengacungkan jempol ke arahku. Matanya berbinar, bibirnya tersenyum seperti busur. Aku terharu, sungguh. Air mataku mengalir di pipi. Kami saling mendekat. Di tengah orang banyak, dia, majikanku, memelukku erat-erat. Setelah hari itu aku tak mau lagi melamun dan bermimpi. 14 Januari 2005 (buat aktivis perempuan)

Read More......

Minggu

Ajak Aku Melihat Kunang-Kunang, Cerpen: Mustafa Ismail

Lelaki itu membuka komputer, lalu mengaktifkan Yahoo! Messenger. Ia meneliti satu persatu nama-nama di sana. Beberapa temannya sedang online. Tapi lebih banyak tidak. Sudah sore, pikirnya, teman-teman yang biasa mengaktifkan YM di kantor, sudah mulai pulang. Rus ingin menyapa beberapa teman yang tinggalnya terpisah-pisah di berbagai kota dan luar negeri.

Tak hanya nama-nama, ia juga memperhatikan kata-kata yang diletakkan di depan nama-nama itu, yang seringkali menjadi cermin apa yang sedang dirasakan atau dilakukan teman-temannya. “Sedang keluar”, “Bos yang manis”, “Menunggu musim duren”, “Bete deh…”, “Kamu ketahuan….” dan sebagainya. Ia memperhatikan satu persatu, sambil senyum-senyum melihat “catatan status online” itu.

Matanya kemudian tertumbuk pada nama lain: Mawar. Ia menulis “status onlinenya” dengan sangat puitis: “Ajak aku melihat kunang-kunang.” Ah, ia langsung tersugesti untuk menyapa Mawar. Sudah lama ia tidak bertemu perempuan hitam manis dengan rambut sebahu dan lesung pipit itu.

Dulu, Rus itu satu kantor dengan Mawar. Mereka sangat dekat. Tapi pelan-pelan kedekatan itu berjarak. Seseorang kemudian sering menjemput Mawar. Ia tidak mengenal lelaki itu. Mawar selalu mengelak menceritakan tentang dia. Ia hanya berkata: “Itu sepupuku. Kantornya dekat sini, makanya sambil pulang ia mampir menjemputku.”

Rus pun tidak bertanya lebih jauh. Tapi suatu kali, Mawar mengajak Rus bertemu di sebuah kafe. Meski satu kantor, mereka pergi sendiri-sendiri ke kafe yang biasa mereka kunjungi itu. Itu dilakukan agar teman-teman kantor tidak tahu mereka dekat.

Rus tidak ingin terlihat sebagai lelaki yang mengingkari keluarga. Mawar pun tidak ingin tampak sebagai gadis yang dekat dengan suami orang. Jadi di kantor, tak seorang pun yang tahu hubungan khusus mereka. Ketika di kantor, mereka berlaku sebagaimana layaknya rekan-rekan kerja lainnya. Rus kepala bagian personalia, dan Mawar adalah staf di bagian keuangan.

Pengakuan di kafe itu sungguh mengejutkan. “Aku mau menikah, Mas,” katanya.

Rus terdiam sesaat. Matanya memandang Mawar tanpa berkedip. Mawar tersenyum. Tapi bukan senyum yang biasa dilihat Rus. Senyum ini agak getir. Ia seperti merasa menyesal telah mengatakan sesuatu kepada Rus. “Maafkan aku, Mas. Aku tahu, Mas sangat mencintai keluarga Mas.”

“Ya. Sebetulnya akulah yang salah karena telah mengagumimu dan mengharapkanku terus dekat denganku.” Suara Rus sangat pelan. Mawar menatap lelaki di depannya itu dengan mata tak berkedip. Mereka saling tatap. Tapi pelan-pelan Mawar menunduk, dan beberapa tetes bening mengalir di pipinya.

“Maafkan aku Mas. Aku juga mengagumi dan mengharapkan Mas selalu dekat denganku, tapi…..”

“Ya, aku paham.” Rus berusaha tenang. Ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. “Siapakah lelaki itu?”

“Mas pasti sudah tahu.”

“Lelaki yang sering menjemputmu?”

“Dia bukan lelaki yang cocok denganku. Kami terpaksa berpisah beberapa bulan lalu.”

“Lalu siapa?”

“Safar.”

“Safar Yoga?”

Rus segera terbayang seorang lelaki tinggi kurus hitam manis yang dulu mejanya di kantor persis di sebelah Rus, ketika awal-awal bekerja di kantor itu. Tapi setahun bekerja, Safar pindah ke perusahaan lain. Kudengar, terakhir ia menjadi kepala bagian penjualan pada sebuah perusahaan ritel.

“Dia tetanggaku, Mas.”

“Safar cerita banyak tentangku?”

Mawar tersenyum.

“Ia bercerita bahwa ketika sama-sama mahasiswa ia berhasil merebut Santi dariku?”

Mawar menggeleng.

“Atau ia bercerita suatu kali kami berantam di kampus karena ia menggoda Nova, pacarku?”

Mawar juga menggeleng.

“Atau dia cerita bahwa aku dan dia lama tidak ngobrol karena masalah perempuan. Bahkan ketika satu kantor pun kami jarang bertegur sapa meski meja kami bersebelahan?”

“Tidak. Ia tidak menceritakan apa yang Mas ungkapkan. Ia memang tahu kedekatan kita, tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Justru ia merasa tidak enak ketika aku dekat dengannya. Ia takut Mas tersinggung. Tapi aku berhasil meyakinkannya bahwa Mas orang terpelajar dan sangat mencintai keluarga Mas. Mas tidak mungkin mencintai lebih dari satu perempuan.”

Rus terdiam. Agak lama. Lalu, ia melirik arloji, dan buru-buru ia mengatakan: “Sudah malam. Kita harus pulang. Aku akan mengantarmu.”

“Tidak usah, Mas. Aku naik taksi saja.”

Mereka beranjak. Rus berjalan ke arah tempat parkir. Mawar berhenti di teras gedung. Tak lama, sebuah mobil minibus silver lewat dan berhenti di sana. Seseorang melongok dari dalam mobil dan berbicara dengan Mawar. Lalu Mawar pun naik.

Dari jauh, Rus tertunduk diam. Ia tak langsung ke tempat parkir tadi, tapi berdiri di sebuah sudut memperhatikan Mawar. Ia bisa melihat jelas lelaki yang memberhentikan mobilnya di depan Mawar dan mengajaknya pergi. Dia adalah Safar. Ia tidak mengerti mengapa Safar selalu menang dalam soal perempuan.

Dua bulan kemudian, Rus menerima surat pengunduran diri Mawar. “Aku mau pulang ke Yogya, Mas. Mengurus usaha orangtua,” katanya.

“Bagaimana dengan Safar?”

“Dia sementara di Jakarta, tapi nanti setelah menikah ia juga akan ikut mengurusi usaha orangtuaku.”

“Aku hanya berharap kamu bahagia.” Suara Rus pelan, dan menatanya menatap Mawar dalam-dalam.

“Terima kasih, Mas. Saya berharap kita bisa menjadi saudara.”

Rus mengangguk. “Ya, kamu saudaraku.” Ia ingin mencium dan merangkul Mawar karena begitu terharu, tapi ia mengurungkan niat itu. Ia juga berusaha menahan tetes air mata, meskipun matanya terasa berkedap-kedip dan agak panas.

Sementara Mawar buru-buru pamit dan membiarkan Rus terdiam di kursi memandang tubuhnya hilang di balik pintu. Yang sempat ia dengar hanya sebuah isak kecil yang ditahan.

*

Ini pertama kali Mawar online di Yahoo Messenger, setelah setahun kepindahannya ke Yogya, dan mereka tidak saling sapa. Yang membikin penasaran ia muncul dengan kalimat yang sungguh puitis: ajak aku melihat kunang-kunang. Ia tak sabar untuk menyapanya. Rus pun mulai mengetik pesannya, bertukar kata dengan Mawar.

Rus: Mawar, aku ingin mengajakmu melihat kunang-kunang. Berdiri dari jendela di lantai sebelas kantor kita dulu, dan melihat ke gelap malam. Di situ beribu-ribu kunang-kunang membentuk lautan cahaya, saling-silang dan meluncur-naik.

Rus: Atau berdirilah di tengah sawah atau kebun ketika matahari telah terbenam. cahaya-cahaya itu bagai tetes salju yang meliuk-liuk seperti camar-camar di pantai.

Mawar: Wah….

Mawar: Sayangnya udah menelusuri penjuru Yogya dan belum juga menemukannya, Mas.

Rus: Masa sih?

Rus: Atau pejamkan mata…

Rus: Bayangkan seribu kunang-kunang meliuk-liuk di rambutmu, terbang ke sana kemari, seperti melompat dari ranting ke ranting. Lalu, bayangkan dirimu ada di sebuah gurun, dengan rumput-rumput hijau, dan sebatang pohon di belakangmu. Lalu seribu kunang-kunang menyerbu dari pohon itu, hinggap di pucuk-pucuk rumput itu, dan membentuk gurun cahaya.

Mawar: Kok serem Mas, hihi…

Mawar: Satu kunang-kunang sudah cukup kok, hehe.

Rus: Bukannya lautan cahaya itu indah.

Mawar: Setitik cahaya yang bisa dimiliki dan digenggam erat lebih indah daripada lautan cahaya yang mudah sirna…

Rus: Jika terus merawatnya, gurun cahaya tidak akan sirna.

Rus: Dan bayangkan seribu kunang-kunang itu kemudian membentuk satu kunang-kunang abadi yang terus terbang meliuk-liuk di rambutmu.

Mawar: Haha.

Rus: Mawar serius ingin melihat kunang-kunang?

Mawar: Iya, hehe.

Rus: Bayangkan ini…..

Rus: Seseorang datang dari jauh, menyapamu, kemudian menjelma kunang-kunang yang selalu berkedap-kedip setelah matahari terbenam. Ia selalu membuat jalanmu begitu terang berderang.

Rus: Bayangkan juga jika ada seribu kunang-kunang yang kemudian menyatu menjadi satu kunang-kunang. Betapa terangnya jalanmu.

Mawar: Ya, sungguh indah Mas.

Rus: Mawar, coba ceritakan apa yang kamu lakukan jika kunang-kunang datang padamu.

Mawar: Melihat saja sudah cukup puas mas. Aku tak ingin memiliki karena justru akan melukainya

Rus: Tidak ingin kunang-kunang itu selalu bersamamu?

Mawar: Tidak.. Tapi pengen dia ada pas aku ingin melihatnya. Tak perlu harus terus bersama. Kebersamaan yang terus menerus dipaksakan seringkali menimbulkan kejenuhan dan kebosanan.

Rus: Apakah kunang-kunangmu telah terbang jauh?

Mawar: Belum pernah merasa memiliki satu kunang-kunang pun, Mas. Jadi masih terus mencari, kunang-kunang yang mau setia hadir saat aku pengen melihatnya. Yang cahayanya takkan pernah pudar.

Mawar: makluk kecil lemah namun mampu memberikan cahayanya untuk menerangi.

Rus: Sungguh mengharukan.

Rus: Jika aku punya kunang-kunang, aku akan segera mengirim satu untukmu

Mawar: Mau mas…Tapi jangan sampai melukainya ya.

Mawar: Untuk apa dimiliki dan dinikmati tapi dia terluka.

Rus: Mawar benar.

Rus: Tapi lebih baik memiliki sambil terus merawatnya agar tidak terluka.

Rus: Pernahkah pada satu hari dulu, mawar takjub pada kunang-kunang? Atau mawar punya kenangan bersama kunang- kunang?

Mawar: Dulu di kebun di rumahku banyak kunang-kunang mas.

Mawar: Tiap malam…

Mawar: Sering aku sama adikku, berdua menggelar tikar di halaman rumah, menikmati kunang-kunang. Kami seringkali menangkapi mereka dan menaruh dalam botol.

Mawar: Sayang sekarang sudah tak ada lagi kunang-kunang.

Mawar: Mereka pergi seiring pergerakan usiaku menjadi dewasa.

Mawar: Betul, ada banyak yang bisa kita miliki dan kita rawat.

Mawar: Tapi kunang-kunang sepertinya tercipta hanya untuk dilihat.

Mawar: Tak akan ada yang bisa memiliki dan merawat.

Rus: Rumah Mawar di Yogya?

Rus: Sekarang masih ada kebun itu?

Mawar: Rumahku di Karanganyar, Solo.

Mawar: Kebunnya masih ada, tapi kunang-kunangnya menghilang. Dulu juga banyak burung jalak dan kutilang, tiap kali panen padi harus “ngoyak-oyak” para makhluk itu. Tapi sekarang sudah tak ada semua.

Rus: Mengapa kunang-kunang itu hilang?

Rus: Burung jalak dan kutilang bagaimana?

Mawar: Sawah-sawahnya sudah jadi perumahan, mas.

Mawar: Sawah yang tersisa sudah pakai pestisida semua.

Rus: Wah.

Ia tidak sempat melanjutkan percakapan itu, karena tiba-tiba status Mawar sign off alias offline. Rus menunggu Mawar online kembali. Boleh jadi, ada sesuatu gangguan yang menyebabkan percakapan itu terputus. Ia terus memelotoi komputer. Semenit, dua menit, lima menit, hingga setengah jam, Mawar tak juga sign in kembali.

Rus jadi gelisah. Mungkinkah listrik tiba-tiba mati, atau mungkin baterai laptopnya drop. Ia mengambil telepon genggam dan mengetikkan sms kepada Mawar. Tapi, sms itu tak terkirim. Ia makin gelisah, apa yang sesungguhnya terjadi.

Tapi Rus tidak hendak beranjak dari komputer. Meski sudah hampir magrib, dan sebagian temannya sudah meninggalkan kantor, ia masih tetap menunggu. Siapa tahu sebentar lagi Mawar online kembali atau sms yang dikirimkannya masuk ke telepon genggam Mawar.

Benar, selepas magrib, Mawar online kembali. Ia langsung menyapa.

Rus: Kok tadi off tiba-tiba.

Mawar: Iya nih, laptopku tiba-tiba hang, tidak jalan.

Rus: Ya sudah, nggak apa-apa.

Rus: Oh ya, sudah punya momongan?

Mawar : Momongan apa? Aku belum kawin Mas.

Rus: Safar?

Mawar: Aku sudah melupakannya. Mungkin ia juga sudah melupakan aku.

Rus terdiam sejenak. Ia tidak tahu harus menuliskan apa di “box dialog” yahoo messenger. Tiba-tiba perasaannya jadi tidak menentu. Rupanya sifat Safar yang gonta-ganti perempuan belum berakhir, sehingga sampai sekarang ia belum menikah. Tapi mengapa itu juga dilakukan terhadap Mawar. Mawar terlalu baik untuk disakiti.

Mawar: Mas…..

Rus : Iya

Mawar: Kok diam sih?

Rus: Nggak. Sebentar, ada telepon masuk.

Rus berusaha berbohong. Ia tidak ingin pikirannya tertebak.

Rus: Mawar….

Mawar: Iya Mas

Rus: Aku ingin menjadi kunang-kunang untukmu.

Mawar: Mas sudah cukup lama menjadi kunang-kunangku.

Rus: Tak mudah melupakanmu.

Mawar: Aku juga setengah mati untuk berhenti memikirkan Mas, berusaha untuk menjauh dari Mas. Sampai kemudian aku terpaksa pindah ke Yogya, karena tak kuat terus bertemu dengan Mas.

Rus: Mengapa harus menjauhiku?

Mawar: Mas sudah tahu jawabannya.

Rus: Tapi, tidak bolehkah aku kembali menjadi kunang-kunang untukmu. Atau, paling tidak, biarkan aku mengajakmu melihat kunang-kunang.

Baru saja pesan itu terkirim, status Mawar kembali sign off. Pembicaraan terputus. Rus tidak tahu, apakah Mawar sempat membaca pesan terakhirnya itu. Tapi, sungguh, ia ingin sekali mengajak Mawar melihat kunang-kunang, berdiri dari lantai sebelas kantornya, atau di sebuah taman pada senja yang temaram.

Rus tidak beranjak dari komputer. Ia menunggu Mawar online kembali. Kali ini, dengan perasaan sungguh berdebar-debar.

Read More......

Rabu

Air Mata Batu

Hello para penggemar cerpen, kita jumpa lagi dalam blog kumpulan cerpen,kali ini aku carikan cerpen yang unit untuk anda, aku berharap dengan postingan cerpen ini akan menambah koleksi kumpulan cerpen anda, oke deh kita lanjut aja ya!!

Air Mata Batu
Cerpen: Willy Hangguman

Bumi telah melahirkanku menjadi batu. Ya, jadi batu! Itu sudah kodratku. Aku tak bisa mengubahnya, misalnya, meminta menjadi manusia. Wah, tampaknya enak jadi manusia. Bisa ngomong. Bisa bercanda. Bisa menuding. Terlebih lagi bisa memfitnah. Sementara batu hanya bisa diam. Bermeditasi dari zaman ke zaman. Batu juga selalu dipakai sebagai simbol keterbelakangan. Ungkapan zaman batu membuktikan itu. Padahal, kalau tak ada batu mana bisa manusia membangun gedung pencakar langit, jalan layang, bendungan raksasa dan banyak lagi. Tak apa manusia lupa berterima kasih kepada batu.
Aku terlahir di rahim dapur magma gunung api. Setiap detik, aku disiksa. Dibakar. Aku tak paham, apa dosaku kenapa disiksa di perut bumi. Aku mengerang. Rantai api mengikat tangan dan kakiku. Ketika aku sedang mengerang, tiba-tiba aku terlontar dari perut gunung.
Tubuhku yang semula merah panas mendadak terasa dingin. Aku mencoba mengamati apa yang terjadi. Gunung yang celaka itu telah meletus, memuntahkanku. Sekarang aku terjun bebas dari puncak gunung. Aku tak punya sayap. Aku terguling-guling. Kepalaku pusing. Tak terbiasa dengan gravitasi. Aku pingsan, tak sadarkan diri. Tahu-tahu, aku mendapatkan diri telah terdampar di dasar kali tempat orang menambang pasir dan batu.
Di daerah aliran sungai itu, aku bisa ngadem. Ketika sedang menikmati masa yang indah itu, seorang laki-laki yang berotot muncul. Dia mengamatiku beberapa saat. "Ah, ini dia," katanya bahagia. Lalu dia memanggil dua anak buahnya. Dengan linggis mereka mengusirku dari tempat yang aman itu. Aku tak berdaya. Mereka mengikatku dengan rantai besi. Mereka menarikku ke pinggir sungai.
Di sana, sebuah truk yang angkuh sedang menanti. Dengan derek orang-orang itu mengangkatku ke atas bak truk. Aku tak berontak karena aku bukan kerbau. Batu memang tak mempunyai sifat pemberontak. Dari dulu sampai masa depan. Aku kemudian dibawa ke suatu tempat. Dengan hati-hati dan sedikit disayang aku diturunkan dari bak truk. Aku tahu, itu rumah seorang seniman patung. Di sana bertumpukan batu-batu, dan patung-patung batu yang sudah diukir. Semuanya dipajang. Dijual.
"Nah, itu tawanan baru datang," bisik beberapa patung. Aku mendengar mereka mengomentari kehadiranku. Mereka bersikap ramah padaku. Kami senasib. Sama-sama ditawan seni.
"Sebentar lagi kau akan merasakannya," kata salah satu patung perempuan cantik.
"Merasakan apa?" aku bertanya.
"Kau akan diukir."
"Jadi apa?"
"Mana aku tahu?"
"Itu urusan sang seniman yang rambutnya panjang dikuncir itu. Dia sedang duduk menikmati kopi, rokok, dan pisang goreng," kata patung batu perempuan yang lain.
"Jangan-jangan kau akan diukir jadi Rahwana."
"Rahwana itu siapa?" tanyaku.
"Raksasa jahat yang melarikan Dewi Sinta," patung perempuan itu menjelaskan. Aku merinding dan cemas jangan sampai dijadikan Rahwana.
"Kalau sampai jadi patung Rahwana, kau akan dicerca selama-lamanya," kata salah satu patung.
"Tetapi Rahwana 'kan ditakuti dan disembah," kata patung yang lain.
"Memang. Tapi, apa enaknya jadi patung yang ditakuti," sergah yang lain. Aku merasa telah diadili. Padahal aku belum jadi patung. Masih batu kali.
"Lantas, apa yang bisa aku lakukan agar tidak dijadikan patung Rahwana?" tanyaku.
"Kita tak bisa pilih nasib. Nasib kita ada di jari-jari pematung dan pahatnya. Tetapi lebih banyak nasib kita ditentukan uang pembeli patung. Orang-orang yang mengaku mencintai seni akan datang memesan macam-macam. Berdoa sajalah semoga kau tidak menjadi Rahwana. Sebagai sesama patung, kami juga seram memandang wajah Rahwana," katanya.
Aku cemas. Jangan-jangan aku bakal jadi Rahwana. Keringat dingin membasahi tubuhku. Cemas menyiksaku berhari-hari. Cukup lama aku dibiarkan telantar. Ketika terik datang, aku dibiarkan merasakan panas. Ketika hujan datang, aku dibiarkan merasakan kedinginan.
Suatu hari, seorang laki-laki berambut hitam mengkilat karena minyak rambut, sepatu cokelat, datang ke padepokan kami dengan sedan mewah. Istri sang seniman yang menangani bisnis usaha suaminya menyambut tamunya dengan ramah. Lelaki itu membuka kaca mata hitamnya. Melemparkan pandangannya ke segala penjuru padepokan.
"Rasanya pernah melihat wajah Bapak. Kalau tidak salah Bapak suka tampil di televisi," puji istri sang seniman. Muka laki-laki yang tadi dipasang tegang mendadak mencair.
"Suka nonton talk show politik di televisi toh?" tanya laki-laki itu.
"Suka, Pak. Biar tahu perkembangan politik negara kita."
"Bagus, bagus. Seniman juga harus tahu peta politik."
"Pendapat Bapak selalu cemerlang."
Laki-laki itu pura-pura tak senang mendapat pujian.
"Masa?"
"Benar, Pak!"
"Syukurlah, kalau pendapatku disukai pemirsa."
Istri seniman itu mendadak mendapat ruang untuk menawarkan dagangannya.
"Mau pesan patung, Pak?"
Politisi itu tak langsung jawab. Dia berkicau lebih dulu.
"Hidup itu tak sedap tanpa seni."
"Memang terasa kering, Pak, hidup tanpa seni."
"Mbak contohnya. Hidup di lingkungan seni, Mbak tampak segar dan awet muda," kata laki-laki itu genit. Matanya jalang ke dada yang subur dari wanita itu. Istri seniman tersebut sadar mangsanya mulai terjerat. Dia pura-pura merunduk agar laki-laki itu bisa mengintip dadanya yang busung. Dengan ekor matanya dia memantau. Mata laki-laki itu sedang menerkam dadanya. Wanita itu langsung menangkap kesempatan emas.
"Politik juga butuh seni ya, Pak," istri seniman itu menjerat.
"Jelas dong. Politik tanpa seni akan jadi anarkis," kata politisi itu bangga.
"Mau pesan patung yang mana, Pak?" langsung wanita memasukkan laki-laki itu dalam pukat dadanya. Politisi yang belum terlalu tua itu tak langsung menjawab. Istri seniman itu menanti dengan cemas.
"Ada patung perempuan cantik?" tanyanya dan matanya memegang dada perempuan itu.
"Mari, saya antar. Banyak. Bapak bisa memilih, mana yang cocok."
Seperti seorang bocah, politisi itu digiring oleh wanita itu. Dia mengamati patung demi patung. Dia sempat berhenti lama pada sebuah patung perempuan. Dia mengambil jarak barang tiga meter untuk bisa mengamati dengan saksama.
"Yang ini, Pak?" tanya istri seniman itu berharap dan tak sabar.
"Tak ada yang lain?" tanya politisi itu.
"Ada, ada," wanita itu gelagapan. Dia mulai kehilangan harapan, karena patung yang tercantik itu pun tak berhasil merebut hati politisi tersebut. Ternyata, patung-patung yang lain tak menarik perhatiannya. Rasa kecewa mulai muncul di wajah istri sang seniman. Dengan susah payah dia berjuang menguburkan rasa kecewa itu agar tidak muncul di layar wajahnya. Dia kembali membusungkan dadanya yang subur untuk menjerat perhatian politisi itu sekali lagi.
"Bisa pesan enggak?" tanya politisi itu tiba-tiba.
"Bisa, bisa, Pak."
"Mana pematungnya?"
"Akan saya panggilkan."
Wanita yang montok dan ayu itu berlari kecil memanggil suaminya. Mata politisi tersebut mengejar pinggul perempuan itu. Tak lama kemudian, wanita itu muncul bersama suaminya.
"Mas, aku bisa pesan patung Cleopatra?"
"Bisa."
"Bisa yang telanjang enggak?" tanyanya dengan suara sedikit merendah.
"Apa yang tidak bisa, Pak."
"Modelnya bisa seperti Mbak ini sajalah. Cleopatra lokal," kata politisi itu nakal. Istri pematung itu tak marah. Juga suaminya. Tamu-tamu harus dimanjakan dengan berlaku sedikit genit. Pematung itu kemudian mengantar politisi itu melihat batu yang cocok untuk patung Cleopatra. Mereka mengamati tiap batu. Dan, sampailah padaku.
"Ini batu yang cocok," kata pematung itu. Politisi yang buta seni setuju saja seperti dia menyetujui keputusan di parlemen sana.
"Doaku ternyata didengar. Aku bahagia karena tak jadi patung Rahwana," kataku kepada batu yang lain.
"Tetapi kau akan menjadi patung sensual," komentar batu yang lain.
"Patung yang memancing birahi," komentar batu yang lain lebih sengit.
"Patung dosa," yang lain menimpali makin kejam.
"Itu kan yang ngeres saja. Sebagai batu kita kan tidak pernah ngeres, tidak pernah sensual. Ngeres itu hanya khas manusia. Seperti politisi itu," sebuah batu membelaku.
"Sekarang, kau masih tersenyum. Tunggu nanti, akan kau tahu rasa saat pahat sang seniman mulai melukaimu," tiba-tiba sela sebuah patung perempuan. Topik pembicaraan langsung beralih ke rasa sakit.
"Sakit sekali, ya?" tanyaku ingin tahu.
"Luar biasa sakit."
Aku diam.
"Tetapi itu kan sakit untuk mendapatkan suatu yang indah," kataku menghibur diri.
Pahat si seniman akhirnya datang menancap tubuhku. Aku mengerang. Sakitnya, minta ampun. Hampir selama enam bulan pahat-pahatnya menerjang, dan akhirnya aku menjelma menjadi Cleopatra. Aku terkejut. Bentukku yang semula tak keruan, kini menjadi seorang wanita cantik. Sama persis dengan istri pematung itu. Sayang, aku wanita batu.
Pecahan batuku, juga pecahan batu-batu lain, yang tak terpakai diangkut sebuah truk ke kota. Dalam perjalanan, truk itu dibajak sejumlah anak muda ketika memasuki kota. Mereka membawa truk ke pusat pertokoan, lalu mengambil pecahan batuku dan melemparkannya ke toko-toko sepanjang jalan besar. Aku menutup mata, ketika harus berbenturan dengan kaca. Sakitnya bukan main. Kaca-kaca itu pecah, lalu rontok. Aku tergeletak di aspal jalan. Pingsan. Setelah siuman, aku berusaha mengingat-ingat. Hari itu bulan Mei menjelang tutup abad. Bukan zaman batu! Ya, bukan zaman batu, sebuah istilah yang sangat menyudutkan kami, golongan batu. Ada yang ikut terbakar bersama kota yang terbakar. Aku pecahan batu itu mengirimkan berita duka kepada batu utama yang kini menjadi patung.
Aku, batu patung, meneteskan air mata. Seniman dan istrinya yang bahenol itu tak tahu kalau aku menangis. Mereka tak bisa melihat air mata batu. Aku berduka karena pecahan-pecahan batuku mestinya menjelma menjadi sebuah gedung yang agung atau jalan raya yang kokoh. Eh, malah sekarang dipakai untuk merajam kota. Kenapa nasib begini buruk?
Tak lama berselang, istri pematung itu menyuruh pekerja-pekerja untuk segera mengepak aku. Aku akan segera dikirim ke ibu kota, ke rumah politisi yang telah memesan diriku. Walaupun batu, aku rindu juga melihat ibu kota. Sang politisi menyambutku dengan bahagia, ketika aku diturunkan dari truk. Dia sudah tidak sabar untuk melihat patungnya. Aku mendapatkan tempat istimewa di rumahnya, yakni di kamar tamu. Jauh lebih terhormat dari para pembantu dan sopirnya.
Setiap tamu datang, terutama rekan politisi dan bisnis, politisiku membanggakan aku di depan mereka. Semua memuja kecantikan dan kemolekanku. "Sayang, batu," celetuk beberapa rekannya. Politisi itu sendiri tak pernah menganggapku batu. Dia selalu meraba tubuhku. Penuh sayang. Penuh asmara. Penuh gairah. Aku merinding.
Suatu malam, politisi itu tiba-tiba kejatuhan pikiran, aku dianggapnya sebagai putri salju yang sedang tertidur lelap karena ulah nenek sihir. "Sebuah ciuman akan membangunkan patungku," kata politisi itu girang!***

Read More......

Senin

Agonia Senja

Cerpen: Novieta Tourisia

KAMI melanggar peraturan. Seharusnya batas waktu penggunaan kolam renang apartemen adalah pukul delapan, namun lewat dari dua jam yang ditentukan kami justru baru menceburkan diri ke dalam kolam. Saya katakan padanya bahwa saya tidak bisa berenang, saya takut air dan takut tenggelam. Karena itu ia menuntun saya dari sisi depan. Gerakannya sangat tenang, terlihat jelas ia sedang berusaha menciptakan keberanian pada diri saya untuk melenyapkan segala macam ketakutan yang ada.
Namun di pertengahan kolam, saya menghilang. Menyelam dengan bebas pada kedalaman dua koma lima meter hingga membuatnya kesal bukan kepalang. Sudah capek-capek menuntun sampai tiga puluh meter jauhnya, ternyata yang dituntun mahir berenang, bahkan menyelam hingga nyaris menyentuh dasar kolam. Maka ia menantang saya menyelam dalam kolam renang berukuran olimpiade ini bolak-balik tanpa jeda, dan menerima tantangannya tanpa berpikir dua kali.
***
IA tidak menyadari, saya tak sedikit pun berusaha memenangkan perlombaan ini. Saya terlalu menikmati air kolam yang hangat beradu dengan dingin menusuknya sang bayu. Saya mengayun kedua tangan dan kaki seirama dengan roda waktu, seolah saya diciptakan sebagai makhluk air bernama penyu bermata sayu.
Ketika ia telah jauh mendahului saya, tiba-tiba saya berhenti. Sesuatu yang hilang seperti menyeret saya ke belakang serupa jalinan memento, membuat penasaran akan rasanya kematian. Semakin penasaran karena degup jantung tak juga menemukan titik pemberhentian. Saya tak berkedip hingga tiga puluh detik pertama, menanti. Setelahnya menutup masing-masing kelopak mata perlahan, masih menanti. Saya segera mengerti bagaimana rasanya berada di tengah palung menuju alam bawah sadar. Saya dapat mencium aroma kematian: serupa wangi sedap malam yang membusuk, sebagai pengiring dayang-dayang langit berlentera kelam. Saya kesurupan, dirasuki setan malam nan pendiam.
Seperti tersadar akan pemberhentian yang tidak wajar, ia menyelam ke arah saya lantas menarik lekas-lekas tubuh yang nyaris tak menyisakan kehidupan ini. Ia mengangkat lalu merebahkan saya di atas gazebo pinggir kolam berkelambu sutra abu-abu. Bertanya: apa, kenapa, bagaimana, atas nama apa. Apa dan apa dan apa dan hanya ada apa. Tidak apa-apa, jawab saya. Ia diam tetapi saya tahu ia bicara, tidak melalui kata-kata yang lahir dari suara.
Semilir angin semakin merengkuh saya jauh dari realita menuju kedamaian imitasi. Pelukan tak lagi terasa hangat, malah kelewat panas seperti hendak melebur saya untuk dijadikan santapan tengah malam. Akan tetapi dan terus-terusan hanya ada tetapi, saya ingin, ingin, dan semakin ingin dipeluk oleh ia tanpa harus dilepaskan, tanpa harus lagi-lagi kedinginan. Demi Tuhan. Keinginan saya untuk dipeluk semakin menjadi-jadi, semakin tak tertahankan, semakin sulit dilawan. Dan demi setan saya malah hanya bisa diam, bungkam, bahkan tak mampu berdeham.
Mungkin dingin bisa saja membuat saya ngilu, tapi tak seharusnya menjadikan saya bisu. Sekarang saya benar-benar sekarat. Rasanya mau mampus saja buru-buru, tanpa harus dihibahkan kelu seperti itu. Kenapa, kenapa, kenapa, saya bertanya. Tidak akan terjadi apa-apa, semoga saja, saya meyakinkan diri, dan mencari doa.
Doa. Datanglah melalui tarian angin mahagemulai. Bisikkan mantra penyuci jiwa lewat telinga dan biarkan ia meranggas di jantung nan rapuh ini tanpa perlu dilukai. Kan kunikmati sayat demi sayat pada permukaannya hingga ruh dan raga sama-sama terkulai. Datang, datanglah, walau tengah malam ini saja. Beri kesempatan agar hati ini mendorong mulut untuk melayangkan suara kepadanya atas nama rasa. Izinkan diri menyampaikan keinginan untuk dipeluk oleh ia, sang pelindung nan setia melagukan kasih penidur, sebagai penawar rasa sakit akan ketidakabadian. Ajarkan jiwa ini menerima segala yang sepatutnya diterima, meski lewat sebait doa.
***
SAYA yakin Dia di Atas sana mendengar dan mewujudkan permohonan saya akan kiriman surga bernama doa. Sebab kengiluan tak lagi ada, digantikan bara hangat yang berembus lewat napasnya pada mulut saya. Ia melukis lengkung lidah mesra di dalamnya, sembari dihantui kepanikan akan degup jantung saya yang meski tak lagi ngilu namun semakin melemah dan memberi getaran kecil seolah memohon ampun untuk segera diakhiri. Jantung saya berbicara, mewakili pita suara yang sungguh tak sanggup melahirkan kata. Detik itu pula saya percaya, segalanya akan mati sia-sia sekali pun cinta sebagai peran utama. Saya tahu, keabadian selalu tamat secara berkala dan sudah semestinya saya siap digantung koma.
Sepertinya saya memang sengaja disiksa; tak diizinkan hidup secara utuh, mati pun perlu sertifikasi. Terlebih karena seumur hidup dapat dihitung dengan jari seberapa sering saya berdoa demi kebaikan. Ingatan hilang dihantam sunyi. Nyeri membebat kepala hingga meruntuhkan kapabilitas memori. Nyeri itu turut mengendap di setiap persendian, membuat saya terbujur kaku. Saya mati rasa, namun berada di ambang ketidaksadaran justru menguatkan saya untuk tetap bertahan, meski kekuatan itu terletak pada titik tengah kelemahan. Mungkin ini yang dinamakan fase kematian. Sakit yang menegarkan, perih yang membebaskan. Seperti dibuai akan panorama duniawi ketika naik gondola raksasa yang putarannya senantiasa mendebarkan.
Ia yang saya cintai masih terus berusaha menciptakan keajaiban, menjemput kehidupan agar kembali menyulut ruh saya yang perlahan memadam. Saya merasa kalut, sebab ruh saya tak mau hidup kembali untuk mencicipi manis cinta yang justru perih di dada karena ketulusannya tak akan mampu terbayarkan oleh saya, manusia pesakitan dengan berjuta obsesi akan kematian. Saya yakin ia akan bahagia justru tanpa saya, tanpa halusinasi saya yang berlebihan, dan tanpa harus dibuat tersiksa karenanya.
Tersirat dalam benak yang mulai redup ini untuk menghisap cintanya terlebih dulu sampai habis, sampai ia tak sudi lagi memberi satu keping di antaranya, sampai ia muak dengan perasaannya sendiri, sampai akhirnya tidak memedulikan saya bersama jasad kaku ini di sini. Namun rasanya percuma. Sebab hingga detik ini ia tak putus-putus mentransfer doa dalam lirih bisikan melalui telinga saya sembari mengatakan agar tetap bertahan menguatkan diri dan senantiasa menyadari bahwa ia selalu berada di sisi saya.
***
SAYA memang digantung koma, namun bukan berarti tak lagi tersisa air mata. Tetesan itu menyeruak keluar dari lingkar mata serupa guratan pada cabang pepohonan. Saya menangis bukan untuknya, melainkan diri sendiri. Jika harus saya hitung satu demi satu pengkhianatan yang telah saya lakukan di belakangnya tanpa pernah sekali pun ia ketahui hingga hari ini, akan ada lebih dari sepuluh nama yang tertera di dalamnya, lebih dari sepuluh cerita yang nantinya terbaca, dan lebih dari sepuluh hati yang tercabik dan meluka, bagian yang tersulit untuk diobati dengan penawar apa pun kecuali hati itu sendiri.
Saya pengkhianat, tapi saya mencintainya. Mencintainya tanpa mengharap balasan namun pada kenyataannya cinta saya kepadanya kalah telak oleh cinta yang ia berikan kepada saya. Tak akan pernah mampu saya mengimbangi perasaannya yang sudah berada di puncak dari segala tingkat. Saya pengkhianat, tapi saya tak pernah meninggalkannya. Ada magnet yang menarik saya dan kutub-kutubnya memompa lembut jantung hati ini untuk terus berdegup setiap kali saya bersamanya. Saya pengkhianat, tapi saya takut dikhianati. Mungkin karena itu tak henti-hentinya saya menyiksa diri dengan berkhianat ke sana kemari, menikmati perih luka pada jiwa-jiwa yang dikhianati, mengais habis kebahagiaan mereka. Saya pengkhianat, tapi pada akhirnya saya tak mendapatkan apa-apa. Saya kehilangan hampir segalanya, dan bukan tak mungkin segera kehilangan ia juga.
Seharusnya saya lekas mengakhiri hidup ketika masih menyelam tadi dan menjauh dari jangkauannya agar ia tak bisa menarik saya ke daratan yang alih-alih malah membuat saya tersiksa seperti ini. Atau seharusnya saya tak pernah berkhianat kepada siapa pun, sehingga tak perlu ada balasan semacam ini. Atau seharusnya ia tak mencintai saya lebih dari cinta yang saya berikan, sebab kini jurang perbedaan kadarnya terlihat kian membesar. Selalu ada ''seharusnya''. Seharusnya selalu ada.
Saya sempat mengira astana dasamuka mengirimkan musikalisasi dari gending lembah ngarai sebagai lagu pengiring kematian saya, namun suara samar-samar itu terdengar semakin jelas dan bukan gending lembah ngarai yang mendamaikan, melainkan sirine ambulans putih dengan lampu merah nyalang di atasnya. Ruh saya marah. Ia menghujat orang-orang yang berkerumun di sini dan menganggap saya sebagai tontonan cuma-cuma. Ia mengamuk pada dayang-dayang langit berlentera kelam yang tak datang membawanya ke astana dasamuka untuk dibunuh dan dilahirkan kembali. Ia mencabik jantung saya yang degupnya tak juga berhenti sedari tadi.
Saya ingin merengkuhnya ke dalam jasad ini kembali, agar kami menyatu lagi dan kelak membenahi segala sesuatu yang telah kami hancurkan hingga porak poranda. Namun ia tak sudi dan malah berteriak lantang tepat mengena di ulu hati saya. Ia tahu, jika ia kembali bersatu dengan jasad ini, saya hanya akan menyiksanya perlahan-lahan dengan menjadi makhluk Tuhan yang terpuji. Tidak akan ada lagi pengkhianatan dan dusta yang kelak melahirkan dosa. Adapun ia terlahir sebagai pendosa sejati. Dosa adalah sumber kehidupannya. Ia akan mengupayakan segalanya untuk bisa memenangkan peperangan dengan jasad saya yang menginginkan kebaikan dan membutuhkan penyucian diri, karenanya saya pasti akan kalah. Di sinilah kali terakhir saya diberi kesempatan untuk memberdayakan akal pikiran sebagai manusia. Saya diberikan pilihan: berperang dengan ruh sendiri selama jasad ini menopangnya kembali demi pembersihan jiwa, atau mengizinkan ruh itu mendapatkan kehendaknya untuk terlepas dari jasad saya selamanya.
Akhirnya pilihan saya jatuh pada pilihan kedua. Sebab walau bagaimana pun, saya pasti kalah dan ia selalu menang. Jika saya terus-terusan berperang dengannya tanpa ada titik temu di bibir pintu, saya yakin, ketika suatu saat nanti kesalahan kami terulang kembali, jasad ini telah membusuk bahkan sebelum saya menyadarinya. Saya tak ingin itu terjadi. Saya juga sadar, ruh ini telah berusaha membebaskan diri dari saya sekian lama, namun saya tak pernah peduli, sebab saya mencintai lelaki itu, dan untuk mencintai seorang manusia dengan ruh dan jasad yang saling melengkapi, saya harus tetap hidup dan tidak boleh mati.
Saya terharu bahwa pada detik-detik menjelang babak akhir kehidupan ini, masih ada hati yang mencintai saya, yang tidak semata-mata menginginkan saya, meski ia tak berhasil menolong saya. Air mata tak lagi berupa cairan, ia telah menyatu dengan angin, sehingga kekasih saya tak tahu betapa pedih yang saya rasakan saat harus meninggalkannya, sebelum saya sempat mengatakan maaf dan mengecup kelopak bibirnya untuk terakhir kalinya.
***
SAYA pasrah. Ruh saya menari-nari gemulai, menyeringai lebar dengan lidah api yang terjulur dari mulutnya. Ia akan dilahirkan kembali nun jauh di sana, di astana dasamuka. Sementara jasad yang selama ini menjadi topangannya, tempat saya merelakan tubuh ini berkhianat ke sana kemari pada tubuh-tubuh yang juga pengkhianat oleh sebab hasrat ruh yang melewati batas, harus rela juga ketika pada akhirnya hanya akan berakhir di kotak kayu pengap dan panjangnya pas-pasan yang dinamakan peti mati.***
Catatan:
agonia: rasa sakit yang amat sangat

Read More......