Pages

Rabu

Air Mata Batu

Hello para penggemar cerpen, kita jumpa lagi dalam blog kumpulan cerpen,kali ini aku carikan cerpen yang unit untuk anda, aku berharap dengan postingan cerpen ini akan menambah koleksi kumpulan cerpen anda, oke deh kita lanjut aja ya!!

Air Mata Batu
Cerpen: Willy Hangguman

Bumi telah melahirkanku menjadi batu. Ya, jadi batu! Itu sudah kodratku. Aku tak bisa mengubahnya, misalnya, meminta menjadi manusia. Wah, tampaknya enak jadi manusia. Bisa ngomong. Bisa bercanda. Bisa menuding. Terlebih lagi bisa memfitnah. Sementara batu hanya bisa diam. Bermeditasi dari zaman ke zaman. Batu juga selalu dipakai sebagai simbol keterbelakangan. Ungkapan zaman batu membuktikan itu. Padahal, kalau tak ada batu mana bisa manusia membangun gedung pencakar langit, jalan layang, bendungan raksasa dan banyak lagi. Tak apa manusia lupa berterima kasih kepada batu.
Aku terlahir di rahim dapur magma gunung api. Setiap detik, aku disiksa. Dibakar. Aku tak paham, apa dosaku kenapa disiksa di perut bumi. Aku mengerang. Rantai api mengikat tangan dan kakiku. Ketika aku sedang mengerang, tiba-tiba aku terlontar dari perut gunung.
Tubuhku yang semula merah panas mendadak terasa dingin. Aku mencoba mengamati apa yang terjadi. Gunung yang celaka itu telah meletus, memuntahkanku. Sekarang aku terjun bebas dari puncak gunung. Aku tak punya sayap. Aku terguling-guling. Kepalaku pusing. Tak terbiasa dengan gravitasi. Aku pingsan, tak sadarkan diri. Tahu-tahu, aku mendapatkan diri telah terdampar di dasar kali tempat orang menambang pasir dan batu.
Di daerah aliran sungai itu, aku bisa ngadem. Ketika sedang menikmati masa yang indah itu, seorang laki-laki yang berotot muncul. Dia mengamatiku beberapa saat. "Ah, ini dia," katanya bahagia. Lalu dia memanggil dua anak buahnya. Dengan linggis mereka mengusirku dari tempat yang aman itu. Aku tak berdaya. Mereka mengikatku dengan rantai besi. Mereka menarikku ke pinggir sungai.
Di sana, sebuah truk yang angkuh sedang menanti. Dengan derek orang-orang itu mengangkatku ke atas bak truk. Aku tak berontak karena aku bukan kerbau. Batu memang tak mempunyai sifat pemberontak. Dari dulu sampai masa depan. Aku kemudian dibawa ke suatu tempat. Dengan hati-hati dan sedikit disayang aku diturunkan dari bak truk. Aku tahu, itu rumah seorang seniman patung. Di sana bertumpukan batu-batu, dan patung-patung batu yang sudah diukir. Semuanya dipajang. Dijual.
"Nah, itu tawanan baru datang," bisik beberapa patung. Aku mendengar mereka mengomentari kehadiranku. Mereka bersikap ramah padaku. Kami senasib. Sama-sama ditawan seni.
"Sebentar lagi kau akan merasakannya," kata salah satu patung perempuan cantik.
"Merasakan apa?" aku bertanya.
"Kau akan diukir."
"Jadi apa?"
"Mana aku tahu?"
"Itu urusan sang seniman yang rambutnya panjang dikuncir itu. Dia sedang duduk menikmati kopi, rokok, dan pisang goreng," kata patung batu perempuan yang lain.
"Jangan-jangan kau akan diukir jadi Rahwana."
"Rahwana itu siapa?" tanyaku.
"Raksasa jahat yang melarikan Dewi Sinta," patung perempuan itu menjelaskan. Aku merinding dan cemas jangan sampai dijadikan Rahwana.
"Kalau sampai jadi patung Rahwana, kau akan dicerca selama-lamanya," kata salah satu patung.
"Tetapi Rahwana 'kan ditakuti dan disembah," kata patung yang lain.
"Memang. Tapi, apa enaknya jadi patung yang ditakuti," sergah yang lain. Aku merasa telah diadili. Padahal aku belum jadi patung. Masih batu kali.
"Lantas, apa yang bisa aku lakukan agar tidak dijadikan patung Rahwana?" tanyaku.
"Kita tak bisa pilih nasib. Nasib kita ada di jari-jari pematung dan pahatnya. Tetapi lebih banyak nasib kita ditentukan uang pembeli patung. Orang-orang yang mengaku mencintai seni akan datang memesan macam-macam. Berdoa sajalah semoga kau tidak menjadi Rahwana. Sebagai sesama patung, kami juga seram memandang wajah Rahwana," katanya.
Aku cemas. Jangan-jangan aku bakal jadi Rahwana. Keringat dingin membasahi tubuhku. Cemas menyiksaku berhari-hari. Cukup lama aku dibiarkan telantar. Ketika terik datang, aku dibiarkan merasakan panas. Ketika hujan datang, aku dibiarkan merasakan kedinginan.
Suatu hari, seorang laki-laki berambut hitam mengkilat karena minyak rambut, sepatu cokelat, datang ke padepokan kami dengan sedan mewah. Istri sang seniman yang menangani bisnis usaha suaminya menyambut tamunya dengan ramah. Lelaki itu membuka kaca mata hitamnya. Melemparkan pandangannya ke segala penjuru padepokan.
"Rasanya pernah melihat wajah Bapak. Kalau tidak salah Bapak suka tampil di televisi," puji istri sang seniman. Muka laki-laki yang tadi dipasang tegang mendadak mencair.
"Suka nonton talk show politik di televisi toh?" tanya laki-laki itu.
"Suka, Pak. Biar tahu perkembangan politik negara kita."
"Bagus, bagus. Seniman juga harus tahu peta politik."
"Pendapat Bapak selalu cemerlang."
Laki-laki itu pura-pura tak senang mendapat pujian.
"Masa?"
"Benar, Pak!"
"Syukurlah, kalau pendapatku disukai pemirsa."
Istri seniman itu mendadak mendapat ruang untuk menawarkan dagangannya.
"Mau pesan patung, Pak?"
Politisi itu tak langsung jawab. Dia berkicau lebih dulu.
"Hidup itu tak sedap tanpa seni."
"Memang terasa kering, Pak, hidup tanpa seni."
"Mbak contohnya. Hidup di lingkungan seni, Mbak tampak segar dan awet muda," kata laki-laki itu genit. Matanya jalang ke dada yang subur dari wanita itu. Istri seniman tersebut sadar mangsanya mulai terjerat. Dia pura-pura merunduk agar laki-laki itu bisa mengintip dadanya yang busung. Dengan ekor matanya dia memantau. Mata laki-laki itu sedang menerkam dadanya. Wanita itu langsung menangkap kesempatan emas.
"Politik juga butuh seni ya, Pak," istri seniman itu menjerat.
"Jelas dong. Politik tanpa seni akan jadi anarkis," kata politisi itu bangga.
"Mau pesan patung yang mana, Pak?" langsung wanita memasukkan laki-laki itu dalam pukat dadanya. Politisi yang belum terlalu tua itu tak langsung menjawab. Istri seniman itu menanti dengan cemas.
"Ada patung perempuan cantik?" tanyanya dan matanya memegang dada perempuan itu.
"Mari, saya antar. Banyak. Bapak bisa memilih, mana yang cocok."
Seperti seorang bocah, politisi itu digiring oleh wanita itu. Dia mengamati patung demi patung. Dia sempat berhenti lama pada sebuah patung perempuan. Dia mengambil jarak barang tiga meter untuk bisa mengamati dengan saksama.
"Yang ini, Pak?" tanya istri seniman itu berharap dan tak sabar.
"Tak ada yang lain?" tanya politisi itu.
"Ada, ada," wanita itu gelagapan. Dia mulai kehilangan harapan, karena patung yang tercantik itu pun tak berhasil merebut hati politisi tersebut. Ternyata, patung-patung yang lain tak menarik perhatiannya. Rasa kecewa mulai muncul di wajah istri sang seniman. Dengan susah payah dia berjuang menguburkan rasa kecewa itu agar tidak muncul di layar wajahnya. Dia kembali membusungkan dadanya yang subur untuk menjerat perhatian politisi itu sekali lagi.
"Bisa pesan enggak?" tanya politisi itu tiba-tiba.
"Bisa, bisa, Pak."
"Mana pematungnya?"
"Akan saya panggilkan."
Wanita yang montok dan ayu itu berlari kecil memanggil suaminya. Mata politisi tersebut mengejar pinggul perempuan itu. Tak lama kemudian, wanita itu muncul bersama suaminya.
"Mas, aku bisa pesan patung Cleopatra?"
"Bisa."
"Bisa yang telanjang enggak?" tanyanya dengan suara sedikit merendah.
"Apa yang tidak bisa, Pak."
"Modelnya bisa seperti Mbak ini sajalah. Cleopatra lokal," kata politisi itu nakal. Istri pematung itu tak marah. Juga suaminya. Tamu-tamu harus dimanjakan dengan berlaku sedikit genit. Pematung itu kemudian mengantar politisi itu melihat batu yang cocok untuk patung Cleopatra. Mereka mengamati tiap batu. Dan, sampailah padaku.
"Ini batu yang cocok," kata pematung itu. Politisi yang buta seni setuju saja seperti dia menyetujui keputusan di parlemen sana.
"Doaku ternyata didengar. Aku bahagia karena tak jadi patung Rahwana," kataku kepada batu yang lain.
"Tetapi kau akan menjadi patung sensual," komentar batu yang lain.
"Patung yang memancing birahi," komentar batu yang lain lebih sengit.
"Patung dosa," yang lain menimpali makin kejam.
"Itu kan yang ngeres saja. Sebagai batu kita kan tidak pernah ngeres, tidak pernah sensual. Ngeres itu hanya khas manusia. Seperti politisi itu," sebuah batu membelaku.
"Sekarang, kau masih tersenyum. Tunggu nanti, akan kau tahu rasa saat pahat sang seniman mulai melukaimu," tiba-tiba sela sebuah patung perempuan. Topik pembicaraan langsung beralih ke rasa sakit.
"Sakit sekali, ya?" tanyaku ingin tahu.
"Luar biasa sakit."
Aku diam.
"Tetapi itu kan sakit untuk mendapatkan suatu yang indah," kataku menghibur diri.
Pahat si seniman akhirnya datang menancap tubuhku. Aku mengerang. Sakitnya, minta ampun. Hampir selama enam bulan pahat-pahatnya menerjang, dan akhirnya aku menjelma menjadi Cleopatra. Aku terkejut. Bentukku yang semula tak keruan, kini menjadi seorang wanita cantik. Sama persis dengan istri pematung itu. Sayang, aku wanita batu.
Pecahan batuku, juga pecahan batu-batu lain, yang tak terpakai diangkut sebuah truk ke kota. Dalam perjalanan, truk itu dibajak sejumlah anak muda ketika memasuki kota. Mereka membawa truk ke pusat pertokoan, lalu mengambil pecahan batuku dan melemparkannya ke toko-toko sepanjang jalan besar. Aku menutup mata, ketika harus berbenturan dengan kaca. Sakitnya bukan main. Kaca-kaca itu pecah, lalu rontok. Aku tergeletak di aspal jalan. Pingsan. Setelah siuman, aku berusaha mengingat-ingat. Hari itu bulan Mei menjelang tutup abad. Bukan zaman batu! Ya, bukan zaman batu, sebuah istilah yang sangat menyudutkan kami, golongan batu. Ada yang ikut terbakar bersama kota yang terbakar. Aku pecahan batu itu mengirimkan berita duka kepada batu utama yang kini menjadi patung.
Aku, batu patung, meneteskan air mata. Seniman dan istrinya yang bahenol itu tak tahu kalau aku menangis. Mereka tak bisa melihat air mata batu. Aku berduka karena pecahan-pecahan batuku mestinya menjelma menjadi sebuah gedung yang agung atau jalan raya yang kokoh. Eh, malah sekarang dipakai untuk merajam kota. Kenapa nasib begini buruk?
Tak lama berselang, istri pematung itu menyuruh pekerja-pekerja untuk segera mengepak aku. Aku akan segera dikirim ke ibu kota, ke rumah politisi yang telah memesan diriku. Walaupun batu, aku rindu juga melihat ibu kota. Sang politisi menyambutku dengan bahagia, ketika aku diturunkan dari truk. Dia sudah tidak sabar untuk melihat patungnya. Aku mendapatkan tempat istimewa di rumahnya, yakni di kamar tamu. Jauh lebih terhormat dari para pembantu dan sopirnya.
Setiap tamu datang, terutama rekan politisi dan bisnis, politisiku membanggakan aku di depan mereka. Semua memuja kecantikan dan kemolekanku. "Sayang, batu," celetuk beberapa rekannya. Politisi itu sendiri tak pernah menganggapku batu. Dia selalu meraba tubuhku. Penuh sayang. Penuh asmara. Penuh gairah. Aku merinding.
Suatu malam, politisi itu tiba-tiba kejatuhan pikiran, aku dianggapnya sebagai putri salju yang sedang tertidur lelap karena ulah nenek sihir. "Sebuah ciuman akan membangunkan patungku," kata politisi itu girang!***

Read More......

Senin

Agonia Senja

Cerpen: Novieta Tourisia

KAMI melanggar peraturan. Seharusnya batas waktu penggunaan kolam renang apartemen adalah pukul delapan, namun lewat dari dua jam yang ditentukan kami justru baru menceburkan diri ke dalam kolam. Saya katakan padanya bahwa saya tidak bisa berenang, saya takut air dan takut tenggelam. Karena itu ia menuntun saya dari sisi depan. Gerakannya sangat tenang, terlihat jelas ia sedang berusaha menciptakan keberanian pada diri saya untuk melenyapkan segala macam ketakutan yang ada.
Namun di pertengahan kolam, saya menghilang. Menyelam dengan bebas pada kedalaman dua koma lima meter hingga membuatnya kesal bukan kepalang. Sudah capek-capek menuntun sampai tiga puluh meter jauhnya, ternyata yang dituntun mahir berenang, bahkan menyelam hingga nyaris menyentuh dasar kolam. Maka ia menantang saya menyelam dalam kolam renang berukuran olimpiade ini bolak-balik tanpa jeda, dan menerima tantangannya tanpa berpikir dua kali.
***
IA tidak menyadari, saya tak sedikit pun berusaha memenangkan perlombaan ini. Saya terlalu menikmati air kolam yang hangat beradu dengan dingin menusuknya sang bayu. Saya mengayun kedua tangan dan kaki seirama dengan roda waktu, seolah saya diciptakan sebagai makhluk air bernama penyu bermata sayu.
Ketika ia telah jauh mendahului saya, tiba-tiba saya berhenti. Sesuatu yang hilang seperti menyeret saya ke belakang serupa jalinan memento, membuat penasaran akan rasanya kematian. Semakin penasaran karena degup jantung tak juga menemukan titik pemberhentian. Saya tak berkedip hingga tiga puluh detik pertama, menanti. Setelahnya menutup masing-masing kelopak mata perlahan, masih menanti. Saya segera mengerti bagaimana rasanya berada di tengah palung menuju alam bawah sadar. Saya dapat mencium aroma kematian: serupa wangi sedap malam yang membusuk, sebagai pengiring dayang-dayang langit berlentera kelam. Saya kesurupan, dirasuki setan malam nan pendiam.
Seperti tersadar akan pemberhentian yang tidak wajar, ia menyelam ke arah saya lantas menarik lekas-lekas tubuh yang nyaris tak menyisakan kehidupan ini. Ia mengangkat lalu merebahkan saya di atas gazebo pinggir kolam berkelambu sutra abu-abu. Bertanya: apa, kenapa, bagaimana, atas nama apa. Apa dan apa dan apa dan hanya ada apa. Tidak apa-apa, jawab saya. Ia diam tetapi saya tahu ia bicara, tidak melalui kata-kata yang lahir dari suara.
Semilir angin semakin merengkuh saya jauh dari realita menuju kedamaian imitasi. Pelukan tak lagi terasa hangat, malah kelewat panas seperti hendak melebur saya untuk dijadikan santapan tengah malam. Akan tetapi dan terus-terusan hanya ada tetapi, saya ingin, ingin, dan semakin ingin dipeluk oleh ia tanpa harus dilepaskan, tanpa harus lagi-lagi kedinginan. Demi Tuhan. Keinginan saya untuk dipeluk semakin menjadi-jadi, semakin tak tertahankan, semakin sulit dilawan. Dan demi setan saya malah hanya bisa diam, bungkam, bahkan tak mampu berdeham.
Mungkin dingin bisa saja membuat saya ngilu, tapi tak seharusnya menjadikan saya bisu. Sekarang saya benar-benar sekarat. Rasanya mau mampus saja buru-buru, tanpa harus dihibahkan kelu seperti itu. Kenapa, kenapa, kenapa, saya bertanya. Tidak akan terjadi apa-apa, semoga saja, saya meyakinkan diri, dan mencari doa.
Doa. Datanglah melalui tarian angin mahagemulai. Bisikkan mantra penyuci jiwa lewat telinga dan biarkan ia meranggas di jantung nan rapuh ini tanpa perlu dilukai. Kan kunikmati sayat demi sayat pada permukaannya hingga ruh dan raga sama-sama terkulai. Datang, datanglah, walau tengah malam ini saja. Beri kesempatan agar hati ini mendorong mulut untuk melayangkan suara kepadanya atas nama rasa. Izinkan diri menyampaikan keinginan untuk dipeluk oleh ia, sang pelindung nan setia melagukan kasih penidur, sebagai penawar rasa sakit akan ketidakabadian. Ajarkan jiwa ini menerima segala yang sepatutnya diterima, meski lewat sebait doa.
***
SAYA yakin Dia di Atas sana mendengar dan mewujudkan permohonan saya akan kiriman surga bernama doa. Sebab kengiluan tak lagi ada, digantikan bara hangat yang berembus lewat napasnya pada mulut saya. Ia melukis lengkung lidah mesra di dalamnya, sembari dihantui kepanikan akan degup jantung saya yang meski tak lagi ngilu namun semakin melemah dan memberi getaran kecil seolah memohon ampun untuk segera diakhiri. Jantung saya berbicara, mewakili pita suara yang sungguh tak sanggup melahirkan kata. Detik itu pula saya percaya, segalanya akan mati sia-sia sekali pun cinta sebagai peran utama. Saya tahu, keabadian selalu tamat secara berkala dan sudah semestinya saya siap digantung koma.
Sepertinya saya memang sengaja disiksa; tak diizinkan hidup secara utuh, mati pun perlu sertifikasi. Terlebih karena seumur hidup dapat dihitung dengan jari seberapa sering saya berdoa demi kebaikan. Ingatan hilang dihantam sunyi. Nyeri membebat kepala hingga meruntuhkan kapabilitas memori. Nyeri itu turut mengendap di setiap persendian, membuat saya terbujur kaku. Saya mati rasa, namun berada di ambang ketidaksadaran justru menguatkan saya untuk tetap bertahan, meski kekuatan itu terletak pada titik tengah kelemahan. Mungkin ini yang dinamakan fase kematian. Sakit yang menegarkan, perih yang membebaskan. Seperti dibuai akan panorama duniawi ketika naik gondola raksasa yang putarannya senantiasa mendebarkan.
Ia yang saya cintai masih terus berusaha menciptakan keajaiban, menjemput kehidupan agar kembali menyulut ruh saya yang perlahan memadam. Saya merasa kalut, sebab ruh saya tak mau hidup kembali untuk mencicipi manis cinta yang justru perih di dada karena ketulusannya tak akan mampu terbayarkan oleh saya, manusia pesakitan dengan berjuta obsesi akan kematian. Saya yakin ia akan bahagia justru tanpa saya, tanpa halusinasi saya yang berlebihan, dan tanpa harus dibuat tersiksa karenanya.
Tersirat dalam benak yang mulai redup ini untuk menghisap cintanya terlebih dulu sampai habis, sampai ia tak sudi lagi memberi satu keping di antaranya, sampai ia muak dengan perasaannya sendiri, sampai akhirnya tidak memedulikan saya bersama jasad kaku ini di sini. Namun rasanya percuma. Sebab hingga detik ini ia tak putus-putus mentransfer doa dalam lirih bisikan melalui telinga saya sembari mengatakan agar tetap bertahan menguatkan diri dan senantiasa menyadari bahwa ia selalu berada di sisi saya.
***
SAYA memang digantung koma, namun bukan berarti tak lagi tersisa air mata. Tetesan itu menyeruak keluar dari lingkar mata serupa guratan pada cabang pepohonan. Saya menangis bukan untuknya, melainkan diri sendiri. Jika harus saya hitung satu demi satu pengkhianatan yang telah saya lakukan di belakangnya tanpa pernah sekali pun ia ketahui hingga hari ini, akan ada lebih dari sepuluh nama yang tertera di dalamnya, lebih dari sepuluh cerita yang nantinya terbaca, dan lebih dari sepuluh hati yang tercabik dan meluka, bagian yang tersulit untuk diobati dengan penawar apa pun kecuali hati itu sendiri.
Saya pengkhianat, tapi saya mencintainya. Mencintainya tanpa mengharap balasan namun pada kenyataannya cinta saya kepadanya kalah telak oleh cinta yang ia berikan kepada saya. Tak akan pernah mampu saya mengimbangi perasaannya yang sudah berada di puncak dari segala tingkat. Saya pengkhianat, tapi saya tak pernah meninggalkannya. Ada magnet yang menarik saya dan kutub-kutubnya memompa lembut jantung hati ini untuk terus berdegup setiap kali saya bersamanya. Saya pengkhianat, tapi saya takut dikhianati. Mungkin karena itu tak henti-hentinya saya menyiksa diri dengan berkhianat ke sana kemari, menikmati perih luka pada jiwa-jiwa yang dikhianati, mengais habis kebahagiaan mereka. Saya pengkhianat, tapi pada akhirnya saya tak mendapatkan apa-apa. Saya kehilangan hampir segalanya, dan bukan tak mungkin segera kehilangan ia juga.
Seharusnya saya lekas mengakhiri hidup ketika masih menyelam tadi dan menjauh dari jangkauannya agar ia tak bisa menarik saya ke daratan yang alih-alih malah membuat saya tersiksa seperti ini. Atau seharusnya saya tak pernah berkhianat kepada siapa pun, sehingga tak perlu ada balasan semacam ini. Atau seharusnya ia tak mencintai saya lebih dari cinta yang saya berikan, sebab kini jurang perbedaan kadarnya terlihat kian membesar. Selalu ada ''seharusnya''. Seharusnya selalu ada.
Saya sempat mengira astana dasamuka mengirimkan musikalisasi dari gending lembah ngarai sebagai lagu pengiring kematian saya, namun suara samar-samar itu terdengar semakin jelas dan bukan gending lembah ngarai yang mendamaikan, melainkan sirine ambulans putih dengan lampu merah nyalang di atasnya. Ruh saya marah. Ia menghujat orang-orang yang berkerumun di sini dan menganggap saya sebagai tontonan cuma-cuma. Ia mengamuk pada dayang-dayang langit berlentera kelam yang tak datang membawanya ke astana dasamuka untuk dibunuh dan dilahirkan kembali. Ia mencabik jantung saya yang degupnya tak juga berhenti sedari tadi.
Saya ingin merengkuhnya ke dalam jasad ini kembali, agar kami menyatu lagi dan kelak membenahi segala sesuatu yang telah kami hancurkan hingga porak poranda. Namun ia tak sudi dan malah berteriak lantang tepat mengena di ulu hati saya. Ia tahu, jika ia kembali bersatu dengan jasad ini, saya hanya akan menyiksanya perlahan-lahan dengan menjadi makhluk Tuhan yang terpuji. Tidak akan ada lagi pengkhianatan dan dusta yang kelak melahirkan dosa. Adapun ia terlahir sebagai pendosa sejati. Dosa adalah sumber kehidupannya. Ia akan mengupayakan segalanya untuk bisa memenangkan peperangan dengan jasad saya yang menginginkan kebaikan dan membutuhkan penyucian diri, karenanya saya pasti akan kalah. Di sinilah kali terakhir saya diberi kesempatan untuk memberdayakan akal pikiran sebagai manusia. Saya diberikan pilihan: berperang dengan ruh sendiri selama jasad ini menopangnya kembali demi pembersihan jiwa, atau mengizinkan ruh itu mendapatkan kehendaknya untuk terlepas dari jasad saya selamanya.
Akhirnya pilihan saya jatuh pada pilihan kedua. Sebab walau bagaimana pun, saya pasti kalah dan ia selalu menang. Jika saya terus-terusan berperang dengannya tanpa ada titik temu di bibir pintu, saya yakin, ketika suatu saat nanti kesalahan kami terulang kembali, jasad ini telah membusuk bahkan sebelum saya menyadarinya. Saya tak ingin itu terjadi. Saya juga sadar, ruh ini telah berusaha membebaskan diri dari saya sekian lama, namun saya tak pernah peduli, sebab saya mencintai lelaki itu, dan untuk mencintai seorang manusia dengan ruh dan jasad yang saling melengkapi, saya harus tetap hidup dan tidak boleh mati.
Saya terharu bahwa pada detik-detik menjelang babak akhir kehidupan ini, masih ada hati yang mencintai saya, yang tidak semata-mata menginginkan saya, meski ia tak berhasil menolong saya. Air mata tak lagi berupa cairan, ia telah menyatu dengan angin, sehingga kekasih saya tak tahu betapa pedih yang saya rasakan saat harus meninggalkannya, sebelum saya sempat mengatakan maaf dan mengecup kelopak bibirnya untuk terakhir kalinya.
***
SAYA pasrah. Ruh saya menari-nari gemulai, menyeringai lebar dengan lidah api yang terjulur dari mulutnya. Ia akan dilahirkan kembali nun jauh di sana, di astana dasamuka. Sementara jasad yang selama ini menjadi topangannya, tempat saya merelakan tubuh ini berkhianat ke sana kemari pada tubuh-tubuh yang juga pengkhianat oleh sebab hasrat ruh yang melewati batas, harus rela juga ketika pada akhirnya hanya akan berakhir di kotak kayu pengap dan panjangnya pas-pasan yang dinamakan peti mati.***
Catatan:
agonia: rasa sakit yang amat sangat

Read More......