Pages

Rabu

Air Mata Batu

Hello para penggemar cerpen, kita jumpa lagi dalam blog kumpulan cerpen,kali ini aku carikan cerpen yang unit untuk anda, aku berharap dengan postingan cerpen ini akan menambah koleksi kumpulan cerpen anda, oke deh kita lanjut aja ya!!

Air Mata Batu
Cerpen: Willy Hangguman

Bumi telah melahirkanku menjadi batu. Ya, jadi batu! Itu sudah kodratku. Aku tak bisa mengubahnya, misalnya, meminta menjadi manusia. Wah, tampaknya enak jadi manusia. Bisa ngomong. Bisa bercanda. Bisa menuding. Terlebih lagi bisa memfitnah. Sementara batu hanya bisa diam. Bermeditasi dari zaman ke zaman. Batu juga selalu dipakai sebagai simbol keterbelakangan. Ungkapan zaman batu membuktikan itu. Padahal, kalau tak ada batu mana bisa manusia membangun gedung pencakar langit, jalan layang, bendungan raksasa dan banyak lagi. Tak apa manusia lupa berterima kasih kepada batu.
Aku terlahir di rahim dapur magma gunung api. Setiap detik, aku disiksa. Dibakar. Aku tak paham, apa dosaku kenapa disiksa di perut bumi. Aku mengerang. Rantai api mengikat tangan dan kakiku. Ketika aku sedang mengerang, tiba-tiba aku terlontar dari perut gunung.
Tubuhku yang semula merah panas mendadak terasa dingin. Aku mencoba mengamati apa yang terjadi. Gunung yang celaka itu telah meletus, memuntahkanku. Sekarang aku terjun bebas dari puncak gunung. Aku tak punya sayap. Aku terguling-guling. Kepalaku pusing. Tak terbiasa dengan gravitasi. Aku pingsan, tak sadarkan diri. Tahu-tahu, aku mendapatkan diri telah terdampar di dasar kali tempat orang menambang pasir dan batu.
Di daerah aliran sungai itu, aku bisa ngadem. Ketika sedang menikmati masa yang indah itu, seorang laki-laki yang berotot muncul. Dia mengamatiku beberapa saat. "Ah, ini dia," katanya bahagia. Lalu dia memanggil dua anak buahnya. Dengan linggis mereka mengusirku dari tempat yang aman itu. Aku tak berdaya. Mereka mengikatku dengan rantai besi. Mereka menarikku ke pinggir sungai.
Di sana, sebuah truk yang angkuh sedang menanti. Dengan derek orang-orang itu mengangkatku ke atas bak truk. Aku tak berontak karena aku bukan kerbau. Batu memang tak mempunyai sifat pemberontak. Dari dulu sampai masa depan. Aku kemudian dibawa ke suatu tempat. Dengan hati-hati dan sedikit disayang aku diturunkan dari bak truk. Aku tahu, itu rumah seorang seniman patung. Di sana bertumpukan batu-batu, dan patung-patung batu yang sudah diukir. Semuanya dipajang. Dijual.
"Nah, itu tawanan baru datang," bisik beberapa patung. Aku mendengar mereka mengomentari kehadiranku. Mereka bersikap ramah padaku. Kami senasib. Sama-sama ditawan seni.
"Sebentar lagi kau akan merasakannya," kata salah satu patung perempuan cantik.
"Merasakan apa?" aku bertanya.
"Kau akan diukir."
"Jadi apa?"
"Mana aku tahu?"
"Itu urusan sang seniman yang rambutnya panjang dikuncir itu. Dia sedang duduk menikmati kopi, rokok, dan pisang goreng," kata patung batu perempuan yang lain.
"Jangan-jangan kau akan diukir jadi Rahwana."
"Rahwana itu siapa?" tanyaku.
"Raksasa jahat yang melarikan Dewi Sinta," patung perempuan itu menjelaskan. Aku merinding dan cemas jangan sampai dijadikan Rahwana.
"Kalau sampai jadi patung Rahwana, kau akan dicerca selama-lamanya," kata salah satu patung.
"Tetapi Rahwana 'kan ditakuti dan disembah," kata patung yang lain.
"Memang. Tapi, apa enaknya jadi patung yang ditakuti," sergah yang lain. Aku merasa telah diadili. Padahal aku belum jadi patung. Masih batu kali.
"Lantas, apa yang bisa aku lakukan agar tidak dijadikan patung Rahwana?" tanyaku.
"Kita tak bisa pilih nasib. Nasib kita ada di jari-jari pematung dan pahatnya. Tetapi lebih banyak nasib kita ditentukan uang pembeli patung. Orang-orang yang mengaku mencintai seni akan datang memesan macam-macam. Berdoa sajalah semoga kau tidak menjadi Rahwana. Sebagai sesama patung, kami juga seram memandang wajah Rahwana," katanya.
Aku cemas. Jangan-jangan aku bakal jadi Rahwana. Keringat dingin membasahi tubuhku. Cemas menyiksaku berhari-hari. Cukup lama aku dibiarkan telantar. Ketika terik datang, aku dibiarkan merasakan panas. Ketika hujan datang, aku dibiarkan merasakan kedinginan.
Suatu hari, seorang laki-laki berambut hitam mengkilat karena minyak rambut, sepatu cokelat, datang ke padepokan kami dengan sedan mewah. Istri sang seniman yang menangani bisnis usaha suaminya menyambut tamunya dengan ramah. Lelaki itu membuka kaca mata hitamnya. Melemparkan pandangannya ke segala penjuru padepokan.
"Rasanya pernah melihat wajah Bapak. Kalau tidak salah Bapak suka tampil di televisi," puji istri sang seniman. Muka laki-laki yang tadi dipasang tegang mendadak mencair.
"Suka nonton talk show politik di televisi toh?" tanya laki-laki itu.
"Suka, Pak. Biar tahu perkembangan politik negara kita."
"Bagus, bagus. Seniman juga harus tahu peta politik."
"Pendapat Bapak selalu cemerlang."
Laki-laki itu pura-pura tak senang mendapat pujian.
"Masa?"
"Benar, Pak!"
"Syukurlah, kalau pendapatku disukai pemirsa."
Istri seniman itu mendadak mendapat ruang untuk menawarkan dagangannya.
"Mau pesan patung, Pak?"
Politisi itu tak langsung jawab. Dia berkicau lebih dulu.
"Hidup itu tak sedap tanpa seni."
"Memang terasa kering, Pak, hidup tanpa seni."
"Mbak contohnya. Hidup di lingkungan seni, Mbak tampak segar dan awet muda," kata laki-laki itu genit. Matanya jalang ke dada yang subur dari wanita itu. Istri seniman tersebut sadar mangsanya mulai terjerat. Dia pura-pura merunduk agar laki-laki itu bisa mengintip dadanya yang busung. Dengan ekor matanya dia memantau. Mata laki-laki itu sedang menerkam dadanya. Wanita itu langsung menangkap kesempatan emas.
"Politik juga butuh seni ya, Pak," istri seniman itu menjerat.
"Jelas dong. Politik tanpa seni akan jadi anarkis," kata politisi itu bangga.
"Mau pesan patung yang mana, Pak?" langsung wanita memasukkan laki-laki itu dalam pukat dadanya. Politisi yang belum terlalu tua itu tak langsung menjawab. Istri seniman itu menanti dengan cemas.
"Ada patung perempuan cantik?" tanyanya dan matanya memegang dada perempuan itu.
"Mari, saya antar. Banyak. Bapak bisa memilih, mana yang cocok."
Seperti seorang bocah, politisi itu digiring oleh wanita itu. Dia mengamati patung demi patung. Dia sempat berhenti lama pada sebuah patung perempuan. Dia mengambil jarak barang tiga meter untuk bisa mengamati dengan saksama.
"Yang ini, Pak?" tanya istri seniman itu berharap dan tak sabar.
"Tak ada yang lain?" tanya politisi itu.
"Ada, ada," wanita itu gelagapan. Dia mulai kehilangan harapan, karena patung yang tercantik itu pun tak berhasil merebut hati politisi tersebut. Ternyata, patung-patung yang lain tak menarik perhatiannya. Rasa kecewa mulai muncul di wajah istri sang seniman. Dengan susah payah dia berjuang menguburkan rasa kecewa itu agar tidak muncul di layar wajahnya. Dia kembali membusungkan dadanya yang subur untuk menjerat perhatian politisi itu sekali lagi.
"Bisa pesan enggak?" tanya politisi itu tiba-tiba.
"Bisa, bisa, Pak."
"Mana pematungnya?"
"Akan saya panggilkan."
Wanita yang montok dan ayu itu berlari kecil memanggil suaminya. Mata politisi tersebut mengejar pinggul perempuan itu. Tak lama kemudian, wanita itu muncul bersama suaminya.
"Mas, aku bisa pesan patung Cleopatra?"
"Bisa."
"Bisa yang telanjang enggak?" tanyanya dengan suara sedikit merendah.
"Apa yang tidak bisa, Pak."
"Modelnya bisa seperti Mbak ini sajalah. Cleopatra lokal," kata politisi itu nakal. Istri pematung itu tak marah. Juga suaminya. Tamu-tamu harus dimanjakan dengan berlaku sedikit genit. Pematung itu kemudian mengantar politisi itu melihat batu yang cocok untuk patung Cleopatra. Mereka mengamati tiap batu. Dan, sampailah padaku.
"Ini batu yang cocok," kata pematung itu. Politisi yang buta seni setuju saja seperti dia menyetujui keputusan di parlemen sana.
"Doaku ternyata didengar. Aku bahagia karena tak jadi patung Rahwana," kataku kepada batu yang lain.
"Tetapi kau akan menjadi patung sensual," komentar batu yang lain.
"Patung yang memancing birahi," komentar batu yang lain lebih sengit.
"Patung dosa," yang lain menimpali makin kejam.
"Itu kan yang ngeres saja. Sebagai batu kita kan tidak pernah ngeres, tidak pernah sensual. Ngeres itu hanya khas manusia. Seperti politisi itu," sebuah batu membelaku.
"Sekarang, kau masih tersenyum. Tunggu nanti, akan kau tahu rasa saat pahat sang seniman mulai melukaimu," tiba-tiba sela sebuah patung perempuan. Topik pembicaraan langsung beralih ke rasa sakit.
"Sakit sekali, ya?" tanyaku ingin tahu.
"Luar biasa sakit."
Aku diam.
"Tetapi itu kan sakit untuk mendapatkan suatu yang indah," kataku menghibur diri.
Pahat si seniman akhirnya datang menancap tubuhku. Aku mengerang. Sakitnya, minta ampun. Hampir selama enam bulan pahat-pahatnya menerjang, dan akhirnya aku menjelma menjadi Cleopatra. Aku terkejut. Bentukku yang semula tak keruan, kini menjadi seorang wanita cantik. Sama persis dengan istri pematung itu. Sayang, aku wanita batu.
Pecahan batuku, juga pecahan batu-batu lain, yang tak terpakai diangkut sebuah truk ke kota. Dalam perjalanan, truk itu dibajak sejumlah anak muda ketika memasuki kota. Mereka membawa truk ke pusat pertokoan, lalu mengambil pecahan batuku dan melemparkannya ke toko-toko sepanjang jalan besar. Aku menutup mata, ketika harus berbenturan dengan kaca. Sakitnya bukan main. Kaca-kaca itu pecah, lalu rontok. Aku tergeletak di aspal jalan. Pingsan. Setelah siuman, aku berusaha mengingat-ingat. Hari itu bulan Mei menjelang tutup abad. Bukan zaman batu! Ya, bukan zaman batu, sebuah istilah yang sangat menyudutkan kami, golongan batu. Ada yang ikut terbakar bersama kota yang terbakar. Aku pecahan batu itu mengirimkan berita duka kepada batu utama yang kini menjadi patung.
Aku, batu patung, meneteskan air mata. Seniman dan istrinya yang bahenol itu tak tahu kalau aku menangis. Mereka tak bisa melihat air mata batu. Aku berduka karena pecahan-pecahan batuku mestinya menjelma menjadi sebuah gedung yang agung atau jalan raya yang kokoh. Eh, malah sekarang dipakai untuk merajam kota. Kenapa nasib begini buruk?
Tak lama berselang, istri pematung itu menyuruh pekerja-pekerja untuk segera mengepak aku. Aku akan segera dikirim ke ibu kota, ke rumah politisi yang telah memesan diriku. Walaupun batu, aku rindu juga melihat ibu kota. Sang politisi menyambutku dengan bahagia, ketika aku diturunkan dari truk. Dia sudah tidak sabar untuk melihat patungnya. Aku mendapatkan tempat istimewa di rumahnya, yakni di kamar tamu. Jauh lebih terhormat dari para pembantu dan sopirnya.
Setiap tamu datang, terutama rekan politisi dan bisnis, politisiku membanggakan aku di depan mereka. Semua memuja kecantikan dan kemolekanku. "Sayang, batu," celetuk beberapa rekannya. Politisi itu sendiri tak pernah menganggapku batu. Dia selalu meraba tubuhku. Penuh sayang. Penuh asmara. Penuh gairah. Aku merinding.
Suatu malam, politisi itu tiba-tiba kejatuhan pikiran, aku dianggapnya sebagai putri salju yang sedang tertidur lelap karena ulah nenek sihir. "Sebuah ciuman akan membangunkan patungku," kata politisi itu girang!***

0 komentar:

Posting Komentar