Pages

Kamis

Aminas

hai! dah lama ngak jumpa di blog kumpulan cerpennya, kali ini saya akan posting sebuah cerpen yang sangat menarik, moga rekan2 menyukainya, lanjuut!!


Aminas

Cerpen: Chavchay Syaifullah

Tak ada yang ganjil, bila siang itu matahari bertahta tepat di atas kepala. Namun, siang itu Aminas bersama rombongan pengikutnya, mendirikan shalat Jumat tidak di satu masjid. Aminas memilih berjamaah di satu gereja tua saja, di pinggir kota tempat ia hidup bersama para pengikutnya. Pintu-pintu masjid tak lagi terbuka baginya. Altar-altar suci kian dijauhkan dari geraknya. Sebab tangan dan hatinya telah dipandang sekotor darah musang.

Aminas. Oh, getir sekali hidupnya! Jilbabnya yang kadang menyulur sampai pongkol bahu. Biji-biji tasbehnya yang tak pernah henti berputar di sela jari-jarinya. Oh, lafaz-lafaz kitab suci yang setia bergema dalam hatinya. Seperti burung kakak tua yang lama mencari sebatang jagung muda.

Tapi, apa daya, Aminas adalah kisah pahit seorang muslimah. Kisah perempuan yang sedang gigih melawan. Berontak. Menolak pembedaan atas nama agama, ras dan jenis kelamin. Orang-orang di kotanya, satu agama atau lain agama, selalu memusuhinya. Ia tak sekadar dicampakkan, sebab seringkali ia bahkan disamakan dengan binatang aneh berbisa. Makhluk sinting pendatang asal planet gersang tanpa nama.

Padahal Aminas adalah wakil perempuan cerdas berkulit hitam. Muslimah yang taat agama. Hanya saja ia perempuan yang senang datang bersama tafsir segar. Bersama lonceng berdengung. Padahal Aminas adalah wujud manusia yang malas menangis, sebab tangis tak pernah melarikannya dari bawah bayang langit hitam, dari tajamnya batu-batu kerikil.

Di tepi taman kota, Aminas sering melamunkan sejarah kaumnya. Juga sejarah perbudakan itu. Sejauh ia melamunkan sejarah itu, semakin gelisah hatinya mencabik-cabik warna cerah masa depan. Aminas terjuntai. Suara hatinya serak. Terseret zaman penuh cakar. Namun, tetap saja langit tak kunjung mengerti tangisnya, gelisahnya yang muncul dari keterpurukan kaum minor, tercekiknya kaum perempuan dan orang-orang kulit hitam.

Aminas. Warna hitam di kulitnya, takdirnya yang perempuan, begitu menyulitkannya untuk berbicara tentang perbudakan, tentang penindasan. Sebab, orang-orang yang tak menyukainya, dengan mudah akan mengatakan ''Ah, Aminas itu kan cuma perempuan iseng. Kerjanya hanya meniup badai rasisme saja!''

''Alangkah malang warna kulitku. Nasib kaumku!''

Dalam hidupnya, sebagai orang berkulit hitam, tak ada yang lebih pahit untuk pantas dikatakan Aminas selain diri dan kaumnya selalu dipecundangi orang-orang berkulit putih, juga manusia-manusia bermisai daging. Itu tak bisa ditampiknya, sebab Aminas merasakannya sendiri. Aminas meneguknya sendiri. Bahkan setiap waktu ia teguk air kotor penindasan itu. ''Kalau karena warna kulitku yang tak sama dengan mereka, apa aku tak bisa hadir sebagai pemimpin?''

''Kalau karena jenis kelaminku yang perempuan, apa aku menjadi salah untuk tampil sebagai pemimpin?''

Dari hari ke hari Aminas kian menyadari arti penindasan itu. Tapi kenapa diri dan kaumnya saja yang tertindas? Aminas tak menemukan jawab di atas peta mana pun. Di dalam kenyataan mana pun. Apalagi di dalam buku-buku. Sebab itu, Aminas tak lagi malu-malu bicara sendiri di depan trotoar dan vas-vas bunga. Ia hanya ingin menjangkau kesadaran baru dalam lipatan mimpi-mimpi yang datang kian memukul. Tak ada suara burung lagi di dalam hatinya. Tak ada lagi kemerduan bunyi. Yang ada hanya jerit cemas dan ketakutan. Bunyi-bunyi angker dari alas sepatu kekar, lipatan dasi, kerah putih, laras senjata dan tumpukan teror.

Aminas ingin berontak dari takdir perbudakan. Tak rela dirinya menjadi sekadar hewan betina yang setia menunggu datangnya perintah menakutkan dari kaum kulit putih dan kaum laki-laki.

Berkat belajar kerasnya, Aminas lulus dari kampus kota itu dengan hasil nilai amat menakjubkan. Pihak kampus takut kehilangan Aminas. Sebab, kehilangan Aminas sama dengan hilangnya mahkota kampus. Aminas ditarik sebagai tenaga pengajar. Aminas tak langsung membalas, sebab ia masih ingin belajar ke jenjang yang lebih tinggi. Pihak kampus segera memberi toleransi, dengan menyanggupkan beasiswa bagi Aminas sampai pendidikan doktoralnya, asalkan pendidikan itu dikejarnya sambil mengajar di almamaternya.

Aminas mulai mengajar. Dari hari ke hari mahasiswa-mahasiswa kampus itu manaruh simpati luar biasa pada Aminas. Sebab bagi mereka, Aminas tidak hanya menyampaikan materi pelajaran, melainkan telah menyampaikan juga makna kejujuran dan fungsi perjuangan.

''Tak ada kewajiban dalam Alquran bahwa perempuan harus takluk di tangan kaum laki-laki,'' katanya.

''Tak ada larangan perempuan untuk menjadi pemimpin,'' katanya.

''Tak ada ajaran dalam Islam bahwa satu jenis kulit tertentu bisa menindas jenis kulit lainnya,'' katanya.

''Perjuangan melawan pembedaan dan penindasan harus segera dimulai,'' katanya.

Dari tahun ke tahun Aminas semakin berani. Keberaniannya cepat didukung oleh sejumlah pengikutnya. Awalnya pengikut-pengikutnya hanyalah para mahasiswanya, tapi cepat meluas di kalangan masyarakat umum.

Pihak kampus gempar. Beasiswa kampus bagi Aminas hendak dicabutnya, bahkan Aminas dicoba disingkirkan. Aminas tak ambil peduli. Pihak kampus terlambat, sebab dalam waktu cepat Aminas sudah mampu menyelesaikan studi doktoralnya. Posisi Aminas semakin kuat. Meskipun tekanan dari pihak luar semakin menjadi, dukungan dari mana-mana terus mengalir.

Setelah mendapatkan gelar doktornya, Aminas tak lagi dapat menunda gerakan dakwahnya di tengah masyarakat luas. Ceramah demi ceramah ia berikan. Tafsir-tafsir baru agama diajukan. Perlawanan demi perlawanan dilakukan. Tak ada lagi ketakutan baginya untuk menyuarakan persamaan jender, kebebasan menafsir, penolakan diskriminasi ras dan kedaulatan manusia.

Ia tahu perjuangan semacam ini mudah mendatangkan badai. Ia tahu itu. Tapi langit gelap sudah lama ia peluk. Ia ingin langit biru yang baru. Keberanian yang penuh.

Sampailah Aminas memutuskan untuk memberi tauladan. Tauladan satu ini memang amat mengerikan bagi dunia Islam yang pro-kejantanan. Atas nama perjuangan melawan pembedaan, tauladan ini pun dilakukannya penuh ketulusan. Aminas tampil sebagai imam shalat jamaah. Makmumnya tak hanya perempuan, namun juga laki-laki. Jamaah itu pun tak lagi membedakan perempuan dan laki-laki dalam setiap shaf shalat.

Penduduk kota yang laki-laki geram. Aminas diterjang ancaman. Tapi jamaahnya semakin merapat pada Aminas. Dalam setiap shalat jamaah, Aminas selalu yang dipercaya menjadi imam. Ia rela melakukan itu. Kaum laki-laki dan kaum perempuan tak pernah dibedakannya. Sebab baginya, Tuhan pun tak pernah membedakan itu. Tuhan hanya membedakan takwa hamba-hambanya.
Ketika Aminas memutuskan untuk mendirikan shalat Jumat bersama para jamaahnya, masjid-masjid menutup pintu baginya. Aminas dan jamaahnya gelisah atas perlakuan itu. Akhirnya Aminas dan jamaahnya pergi ke sebuah gereja tua di pinggiran kota.

Oh, alangkah tak terbayangkan oleh masyarakat dunia, Aminas menjadi imam shalat Jumat di sebuah gereja!

''Kami berdiri di sini bukan untuk menggantikan masjid dengan gereja, namun kami datang untuk mengetuk hati pada dunia Islam, masih adakah persamaan derajat dalam Islam?'' katanya.

''Kami berdiri di sini bukan untuk menjadi jamaah yang ganjil, namun kami sekadar berziarah menapaki keadilan dan kesetaraan,'' katanya.

Jauh dari kota tempat Aminas berjuang, orang-orang menaruh rasa simpati. Tapi, banyak juga yang malah menaruh rasa curiga.

Aku dan kawan-kawan yang sedang asyik bermain gitar, melotot membaca laporan surat kabar tentang peristiwa getir itu. Akhirnya kami membuat lagu untuk Aminas. Tapi sayang, banjir bandang begitu saja tiba, menghanyutkan gitar dan catatan lirik lagu kami.***

Read More......